Rabu, 17 Desember 2014

Cool Branding with Social Media

(Oleh-oleh dari Markplus Conference 2015) 

Mengukur RoI Media Sosial

Ini salah satu sesi yang saya ikuti. Sebetulnya ada beberapa sesi lain, namun karena dilaksanakan pada waktu yang bersamaan, dan perwakilan dari Jagawudhu Communication hanya saya sendiri :D, jadi nggak banyak sesi yang bisa saya ikuti.

Bicara media sosial, sekarang tidak hanya digunakan untuk ngobrol dengan teman dan keperluan pribadi lainnya. Sebagian besar brand owner sudah menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dengan pelanggannya. Bisa untuk menanggapi keluhan pelanggan, pertanyaan, dan mempromosikan produk atau layanan terbaru.

Namun, sejauh mana ya brand owner bisa mengukur RoI di media sosial?

Ramya Prajna,  Co-CEO Think.web yang menjadi salah satu pembicara mencontohkan program yang dilakukan timnya untuk sebuah brand laptop. Menurutnya, mengukur RoI bisa dilakukan dengan melihat sales leads.
“Setiap ada pertanyaan harga produk berarti ada sales lead. Dari situ, admin bisa berkomunikasi dengan penanya dan pastinya menyarankan. Nah, kalau sampai tahap membeli, baru dikonversi. Yang paling kelihatan memang melalui e-commerce”

Kalau mengacu pada wow marketing (lihat tulisan sebelumnya), produk harus bisa memunculkan keingintahuan konsumen sehingga mereka bertanya, membeli, mencoba dan lebih dari itu, mau mempromosikan.
Tambah Ramya, perwakilan brand yang berhadapan langsung dengan konsumen memang perlu dibekali dengan pengetahuan mengenai produk dengan baik sehingga perlu adanya knowledge center.

Cool Brand, Great Campaign

Bicara cool brand, kira-kira brand apa yang melakukan kampanye yang keren melalui media sosial, belakangan ini?

Mungkin ada yang jawab: Line atau yang ramai dengan alumni AADC-nya.

Nah, kenapa Line kemudian memilih alumni AADC untuk mempromosikan fitur terbarunya “Find Alumni”?

Galuh Chandrakirana dari Line Indonesia menjelaskan, selain sesuai dengan manfaat dari fitur ini, AADC juga dinilai sebagai film yang fenomenal dan dikenal oleh banyak orang, terutama oleh target market.

Menariknya, selain ditonton oleh ratusan ribu orang di Youtube, kampanye ini juga banyak dibicarakan di media sosial dan digunakan oleh brand lain untuk promosi. Seperti salah satu iklan mie instan dengan copy-nya (kurang lebih) “Nggak perlu nunggu 12 tahun untuk makan mie enak. Cukup 3 menit”.  

Sayangnya, kemarin Galuh tidak menjelaskan berapa penambahan jumlah pengguna Line sejak mini drama AADC ini muncul. 

WOW Marketing = Creativity + Productivity

MarkPlus Conference 2015 #1

WOW Marketing = Creativity + Productivity

Guru marketing Indonesia, Hermawan Kartajaya, memprediksi pada 2015, semua yang akan berhubungan dengan internet akan berkembang (e-verything). Sedangkan industri yang akan berkembang adalah properti, transportasi, otomotif, rumah sakit, banking, farmasi, telco, media (surprising me tidak hanya media online tetapi juga konvensional) dan bangkitnya pemimpin-pemimpin daerah (ini sepertinya sudah mulai terlihat sejak tahun lalu, ya).

Prediksi ini dikemukakan Hermawan saat membuka Markplus Conference 2015 di The Ritz Carlton, Pacific Place, Kamis (11/12) lalu. Konferensi tahunan itu mengambil tema “Wow Marketing = Creativity + Productivity”.

Sebelumnya, di buku yang ditulis Hermawan, New Wave Marketing, ia sudah menulis bahwa dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, pendekatannya sudah tidak lagi bersifat vertikal, top-down tapi berubah menjadi horisontal, peer to peer dan many to many. Maka tak heran kalau sekarang, banyak brand owner yang membentuk komunitas, dan berkomunikasi dengan komunitasnya, termasuk mengandalkan media sosial untuk saling berbagi.

Nah, dengan semakin pesatnya perkembangan internet, apa yang perlu dilakukan oleh brand owner?

WOW Marketing mengacu pada dua hal: kreativitas dan produktivitas.
Produktif artinya:
Brand dapat menciptakan awareness sehingga perlu atraktif. Untuk membuatnya atraktif, maka perlu diciptakan sesuatu yang membangkitkan keingintahuan orang (curiousity). Harapannya, target akan bertanya tentang produk tersebut. Ujungnya, mereka memiliki komitmen untuk membeli.
Setelah itu, marketer biasanya akan berharap ada repeat order. Tapi sekarang, tidak hanya itu. Pelanggan dihara
pkan melakukan advocate terhadap brand.

Hal ini dikarenakan perrkembangan media sosial yang memungkinkan semua orang untuk berbicara tentang sebuah brand. Untuk itu diperlukan pelanggan yang tidak hanya memakai tapi juga membantu merekomendasikan brand tersebut ke orang lain. Bahkan jika memungkinkan, “membela” brand tersebut.  

Hal kedua, kreativitas. Ide yang baik adalah ide yang dieksekusi. Percuma memiliki ide banyak tapi tanpa eksekusi. Nah, untuk itu perlu bagi sebuah brand untuk berani bereksplorasi dengan ditunjang kejelasan informasi dan pelayanan yang berkualitas.

Hingga pada akhinya, orang tidak hanya sekadar tahu, tapi mau menggunakan dan sesudahnya berani bilang “Wow, ini produk keren banget!”.     

(Catatan: sebagian dari pernyataan di atas tidak hanya dikemukakan oleh Bp. Hermawan tapi juga pendapat saya). 

Jumat, 24 Oktober 2014

Novel KKJD "Delman Merah Jambu"

"Delman Merah Jambu"
Aprilina Prastari

Bab 1
Peraturan yang Menakutkan

            Alva mempercepat langkahnya. Wajahnya sedikit cemberut.  Tadi pagi dia bangun kesiangan. Biasanya, anak kelas VI SD itu sudah bangun saat adzan Subuh berkumandang lalu sholat berjamaah bersama Ayah dan Kak Sarah. Tapi, berhubung Ayah sedang ke luar kota, Alva jadi kesiangan. Lho, apa hubungannya? Ada, dong! Soalnya Alva cuma mau bangun pagi kalau Ayah yang membangunkan.
“Ya ampuun, Alva! Belum bangun juga! Kakak harus berangkat jam setengah enam, nih. Nanti Kakak tinggal, ya!” ancam Kak Sarah tadi pagi. Hari itu Kak Sarah ada lomba memasak di sekolahnya, jadi harus berangkat lebih pagi dari biasanya.
“Alva! Ayo bangun!” Kak Sarah kembali membangunkan adik satu-satunya itu. 
Tapi, bukannya langsung bangun, Alva malah menarik selimutnya lagi.
“Aku masih ngantuk, Kak. Whooaam,” kata Alva sambil menguap. Malam sebelumnya, anak bertubuh atletis itu memang tak dapat tidur nyenyak. Sepulang latihan silat, kakinya terkilir sehingga nyeri. Untung Mbok Na, pembantu keluarga mereka, bisa mengurut. Setelah itu, barulah Alva bisa tidur dengan nyenyak.
Sampai Kak Sarah harus berangkat, Alva belum bangun juga. Jadi terpaksa deh, Alva ditinggal. Ia baru bangun ketika Mbok Na mengetuk pintu kamarnya keras-keras.
“Mas Alvaa, Maaas, banguun, sudah jam enam kurang,” teriak Mbok Na dengan logat Jawanya.
“Hah?! Jam enam! Waduh, aku telat, deh!” seru Alva langsung melompat dari tempat tidur.
Selesai mandi dan berpakaian, tanpa sempat sarapan, Alva segera berangkat. Biasanya kalau diantar Kak Sarah naik motor, jarak dari rumah ke sekolah bisa ditempuh selama dua puluh menit tapi kalau tidak diantar, memakan waktu sekitar empat puluh lima menit. Jarak rumah ke sekolah Alva memang cukup jauh. Dari rumah, ia harus naik angkot lalu turun di perempatan kantor pos. Dari situ, ia masih harus berjalan sejauh kurang lebih lima ratus meter.

Sambil berjalan menuju sekolahnya, Alva menendang batu-batu kerikil yang memenuhi jalan. Jalanan di sana memang masih banyak yang belum diaspal. Berbeda dengan sekolah Alva waktu di Yogya dulu. Meski bukan sekolah favorit, tapi bangunannya bagus dan terawat rapi. Jaraknya juga dekat dari rumah. Tinggal jalan kaki lima belas menit, sampai deh. Ah, Alva jadi kangen sekolahnya itu. Selain dekat, jalannya lebih bagus. Alva juga tidak pernah terburu-buru seperti tadi pagi karena ada Ibu yang selalu membangunkannya. Tapi sekarang ...
                                                                        ***
            Sudah delapan bulan Ibu meninggalkan Alva, Kak Sarah dan Ayah. Meninggalkan orang-orang yang Ibu cintai. Setelah dua bulan dirawat di rumah sakit, Ibu berpulang ke Sang Maha Pencipta. Waktu itu, Alva tak bisa berhenti menangis. Dia memang sangat dekat dengan Ibu. Biarpun terlihat mandiri, tapi kalau dengan Ibu, Alva masih suka manja. Saking sedihnya, Alva bahkan pernah tanya pada Allah, kenapa Ibu harus meninggalkannya secepat itu.
“Alva sayang Ibu, kan?” tanya Ayah saat itu.  
Alva mengangguk sambil terus menangis.
“Allah juga sayang Ibu. Allah enggak mau Ibu terus-terusan sakit. Makanya, Allah memanggil Ibu supaya enggak merasa sakit lagi.”
Cukup lama Alva merasa sangat sedih dan kesepian. Biasanya, kalau Alva pulang sekolah, selalu ada Ibu yang membuatkan minuman segar. Kalau dia capek sehabis main bola, Ibu pasti siap dengan minyak zaitun dan minyak kayu putih untuk mengurut kakinya. Tapi sejak enggak ada Ibu ...
“Alva!”
Sebuah suara membuyarkan lamunan Alva. Dilihatnya Randu sedang berlari ke arahnya.
“Hei! Kesiangan juga?” sapa Alva sambil tersenyum.
Bulikku sakit. Jadi aku harus bantu beres-beres rumah dulu,” jawab Randu. Bulik adalah panggilan orang Jawa untuk Tante.
“Eh, kemarin ke mana? Kok ndak masuk?” tanya Randu dengan logat Jawanya yang kental.
“Kurang enak badan. Kakiku terkilir sewaktu latihan silat,” jawabnya. 
Randu mengangguk-angguk. Anak bertubuh gemuk dan berambut ikal itu adalah teman sekelas Alva. Ia anak yang menyenangkan dan suka bergaul dengan siapa saja. Waktu Alva baru pindah ke sekolah itu, Randu, teman pertama yang mengajaknya mengobrol.
Mendekati pukul 7.10 WIB, suasana kelas VI Ceria semakin ramai. O ya, di sekolah ini, tiap kelas memiliki nama-nama yang bisa membuat murid-muridnya semangat. Ada kelas VI Amanah, kelas VI Berani dan VI Ceria. Tak lama setelah bel berbunyi, Pak Gatot, Wali Kelas VI Ceria masuk dan memberitahukan sebuah pengumuman.
“Anak-anak, sebelum memulai pelajaran, ada pengumuman penting yang harus Bapak sampaikan,” kata Pak Gatot di depan kelas.
“Wah, apa, Pak?” tanya Randu bersemangat.
“Kambingnya Randu mau beranak ya, Pak,” celetuk Awan jahil. Awan memang terkenal usil dan mau tahu urusan orang lain. Ayahnya, Pak Karto, adalah pengurus desa sekaligus pemilik kios di pasar.  
Hahahaha.” Seluruh kelas tertawa. Randu cuma bisa cemberut tapi sehabis itu ia kembali tersenyum. Anak berkulit sawo matang itu memang tidak bisa marah lama-lama.   
Pak Gatot tersenyum lalu melanjutkan bicaranya.
“Kemarin, Pak Kepala Sekolah dan guru-guru rapat. Beliau menyampaikan pesan penting dari Pak Kepala Desa,” sejenak Pak Gatot diam. Anak-anak yang semula tertawa ikut diam.
Ada apa ya? Mereka bertanya-tanya dalam hati.  
Pak Gatot menatap murid-muridnya satu per satu.
“Anak-anak, Pak Kades meminta semua anak yang berusia di bawah lima belas tahun, harus sudah berada di rumah sebelum pukul tujuh malam,” Pak Gatot berkata dengan hati-hati.
Anak-anak terdiam. Beberapa di antara mereka melirik ke arah Ilham. Ilham jadi serba salah. Sebagai anak Kepala Desa, ia pun tidak tahu mengapa ayahnya membuat keputusan seperti itu.
Hingga akhirnya, Alva memberanikan diri untuk bertanya.
“Pak Gatot, mengapa kami sudah harus berada di rumah sebelum pukul tujuh?” tanyanya.
Guru santun itu terdiam. Beliau terlihat ragu-ragu menjawabnya. Tiba-tiba, dari arah belakang kelas, Awan bertanya, “Apa ada hubungannya dengan Delman Merah Jambu, Pak?”
“Delman Merah Jambu?” seluruh anak serempak bertanya. Kelas yang semula tenang berubah menjadi gaduh. Mereka saling berpandangan dan bertanya-tanya.
Pak Gatot juga terkejut mendengar ucapan Awan, tapi kemudian berusaha menenangkan siswa-siswinya.  
“Tenang anak-anak... Tenang ... Kita akan membicarakan ini lagi, nanti. Sekarang kita belajar dulu. Bapak harap kalian setuju,” jawab Pak Gatot akhirnya.
Meski terlihat masih sangat penasaran, mereka tidak berani bertanya lebih lanjut. Yang jelas, saat istirahat, mereka langsung mengerubungi Awan.
“Kenapa dengan Delman Merah Jambu, Wan?” tanya Randu.
“Iya, Wan, memang siapa pemiliknya?” kali ini Alva yang bertanya.
“Kenapa harus ditakuti, Wan? Apa ada hantunya?” seorang anak, entah siapa, bertanya dari arah samping.
“Hantu?? Hiii ...” anak-anak perempuan mulai ketakutan.
“Yaa... mana aku tahu ...” jawab Awan santai.
“Huuu!” mereka menyoraki Awan. “Terus, kenapa kamu tadi tanya apa ada hubungannya  sama Delman Merah Jambu?” Randu yang bertanya lagi.
“Semalam, Bapakku dipanggil Pak Kades. Nah, pulangnya, aku mendengar Bapak bercerita ke Ibuku. Katanya, di desa kita ini ada Delman Merah Jambu. Begitu ...” Awan mencoba memberi penjelasan.
“Terus, apa hubungannya sama peraturan baru dari Pak Kades? Kenapa kita sudah harus berada di rumah sebelum jam tujuh?” Alva mencecar Awan.
“Lho, kan tadi aku sudah bilang. Mana aku tahuuu?” lagi-lagi Awan mengelak.  
“Huuuu!” siswa-siswi kelas VI Ceria kembali menyoraki Awan.  
 Tidak mendapat jawaban memuaskan dari Awan, satu per satu anak-anak meninggalkannya. Tak berapa lama kemudian, bel masuk pun berbunyi.

Sepulang sekolah, anak-anak SD Nusa Bakti masih sibuk membicarakan pengumuman dari Pak Kades yang disampaikan oleh wali kelas masing-masing. Mereka masih belum mendapat jawaban yang memuaskan kenapa harus sudah berada di rumah sebelum pukul tujuh malam. Para guru pun sepertinya masih keberatan untuk menjelaskan ke murid-murid. Kalaupun ada guru yang mencoba menjawab, alasannya karena di TV sedang marak penculikan anak sehingga Pak Kades ingin agar anak-anak berhati-hati.
“Menurut kalian, apakah Awan mengada-ada soal Delman Merah Jambu itu?” Alva bertanya pada Randu dan Ilham dalam perjalanan pulang sekolah. Meski jarak rumah mereka tidak berdekatan tapi Alva sering pulang sekolah bersama-sama dengan Randu dan Ilham. Di sekolah pun mereka suka bermain bersama-sama.   
“Hmm, sepertinya enggak. Ayahnya Awan kan pengurus desa. Mungkin soal Delman Merah Jambu itu memang benar,” jelas Randu.
“Tapi, apa hubungannya Delman Merah Jambu dengan peraturan Pak Kades?” tanya Alva lagi.
Randu menggeleng sementara Ilham hanya diam saja.   
“Hmm, Ilham, apa Ayahmu pernah berkata sesuatu soal Delman Merah Jambu?” Alva bertanya pada Ilham.
Ilham menggeleng. “Bapak enggak pernah bercerita apapun soal itu di rumah” katanya pelan.
Melihat sikap Ilham yang kurang bersemangat membahasnya, Alva tidak bertanya lebih lanjut. Ia khawatir, Ilham akan tersinggung. Sebenarnya, Ilham juga merasa tidak enak hati karena bapaknya membuat pengumuman aneh seperti itu. Apalagi peraturan itu jadi pembicaraan hangat di sekolahnya. Bahkan mungkin, di seluruh desa!
Alva dan Randu saling pandang namun tak berkata apa-apa. Sepanjang perjalanan pulang, mereka sibuk menerka apa kaitan Delman Merah Jambu dengan peraturan baru dari Pak Kades.  




Kamis, 23 Oktober 2014

Lomba Blog untuk Guru - Gerakan Indonesia Terdidik TIK

Gerakan Indonesia Terdidik TIK (IndiTIK)
Mencari
“Guru Blogger Inspiratif 2014”

Sebagai gerakan yang mendukung pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di sekolah, Gerakan IndiTIK mengajak para guru untuk menuliskan pengalaman atau gagasan dengan tema:
“Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam menunjang proses mengajar.”  
Persyaratan dan Ketentuan Lomba:
1.  Blogger berprofesi sebagai guru
2.  Memiliki blog pribadi (blogspot, wordpress, dll)
3.  Wajib menjadi Follower Indonesia Terdidik TIK (@inditik)
4.  Wajib melakukan Like Fan Page Facebook Indonesia Terdidik TIK
5.  Tulisan dapat berupa pengalaman atau gagasan
6. Tulisan adalah karya sendiri, belum pernah diikutsertakan dalam lomba sejenis. Jika ada kutipan wajib mencantumkan sumber/referensi.
7.  Tulisan dalam Bahasa Indonesia, dengan panjang minimal 600 kata
8.  Tulisan tidak boleh melanggar hak kekayaan intelektual pihak manapun
9.  Tidak bermuatan  SARA
10. Tulisan wajib disebarkan melalui Twitter masing-masing peserta dengan  mengirim link URL artikel lomba yang dilombakan dan menyebutkan Twitter Gerakan IndiTIK @inditik dilanjutkan dengan tagar #bloggerindiTIK
11.Tulisan wajib disebarkan melalui Facebook masing-masing peserta dengan  mengirim link URL artikel lomba yang dilombakan dan menyebutkan Fanpage Indonesia Terdidik TIK
12. Kirim URL lengkap postingan di blog sekaligus lampiran dalam MS Word ke email: gerakaninditik@gmail.com  
13. Peserta yang tidak memenuhi persyaratan akan didiskualifikasi
14. Mereka yang nantinya menjadi pemenang harus dapat menunjukkan surat pengantar dari sekolah atau lembaga yang menjelaskan bahwa yang bersangkutan adalah guru di sekolah atau lembaga tersebut

Kriteria Penilaian:
  1. Kesesuaian tema
  2. Orisinalitas
  3. Tata bahasa
  4. Gaya penulisan
  5. Adanya foto, ilustrasi atau video dapat menjadi nilai tambah

Hadiah:
Pemenang I : Uang tunai sejumlah Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan                 sertifikat
Pemenang II : Uang tunai sejumlah Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan                  sertifikat
Pemenang III : Uang tunai sejumlah Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)                      dan sertifikat

Tim Juri:
      Wijaya Kusumah, S.Pd., M. Pd (Pemerhati TIK, Guru, Blogger)
      Haya Aliya Zaki  (Editor Lepas, Blogger)
      Tim Djalaludin Pane Foundation

Periode Lomba                    : 
Waktu pengiriman                  : 17 Oktober – 13 November 2014
Proses seleksi dan Penjurian   : 14- 20 November 2014
Pengumuman Pemenang        : 21 November 2014
      
  Pengumuman pemenang diinformasikan melalui FB dan Twitter Gerakan IndiTIK.
  Jika pemenang dari Jabodetabek, penyerahan hadiah dilakukan pada saat peluncuran Gerakan Indonesia Terdidik TIK (IndiTIK) pada 25 November 2014 di Aula Perpustakaan Nasional, Jakarta. Untuk pemenang di luar Jabodetabek, hadiah akan dikirim.          

Jika ada pertanyaan terkait lomba ini, silakan bertanya melalui FB atau Twitter IndiTIK.

Tentang Gerakan IndiTIK
Gerakan Indonesia Terdidik TIK (IndiTIK) merupakan gerakan yang diinisiasi oleh Djalaludin Pane Foundation dengan mengajak para guru untuk memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk membantu proses mengajar di sekolah. Gerakan ini juga menjembatani masyarakat yang ingin memberikan donasi untuk disalurkan ke sekolah-sekolah yang membutuhkan peralatan TIK.  




Rabu, 22 Oktober 2014

Masih Perlukah Nilai KKM di Sekolah?

Sebagai orangtua yang memahami bahwa tiap anak memiliki potensi di bidang tertentu dan tidak memaksa mereka untuk bagus di semua mata pelajaran, sebetulnya kami mempertanyakan seberapa penting nilai KKM (kriteria ketuntasan minima) untuk siswa.

Meski saya menyadari bahwa penentuan nilai KKM ini dilakukan dengan hitungan yang tidak sembarangan tapi apakah kita akan memukul rata kemampuan anak?

Jika ada seorang anak yang sangat bagus untuk pelajaran sosial, seni dan bahasa, namun kurang di pelajaran hitungan-menghitung, apakah kita akan memaksa agar anak mencapai nilai tersebut? Ambil contoh, jika KKM matpel Matematika 75, lalu anak tersebut “hanya” mencapai 73 dan harus remedial, apakah siswa ini tidak akan stres? Menurut saya, angka “73” untuk anak yang memang jago di bahasa dan sosial, sudah baik.

Terlebih, kemampuan anak dalam memahami pelajaran ditentukan oleh banyak faktor. Jika nilai kurang memuaskan, tidak selalu dikarenakan siswa yang sulit untuk memahami pelajaran, kan? Bisa jadi, kemampuan guru dalam mengajar yang kurang mampu menjelaskan materi. 

Harapan saya untuk menteri pendidikan yang baru agar sekolah menjadi tempat yang aman, nyaman, tidak hanya untuk fisiknya tapi juga batinnya. Anak-anak sebaiknya tidak melulu diarahkan untuk mendapat nilai tinggi. Untuk apa semua nilai tinggi tapi kurang berempati, sopan santun, dan mampu menjaga lingkungannya? 

Bukankah lebih menenangkan jika orangtua dan sekolah mampu menggali potensi yang dimiliki anak agar mereka paham kelebihan yang dimilikinya? 


Senin, 06 Oktober 2014

KKJD: Misteri Delman Merah Jambu


Kepala Desa Progowati membuat peraturan baru. Anak-anak harus sudah ada di rumah paling lambat pukul 7 malam. Wah, ada apa ya? Pak Kepala Sekolah yang mengumumkan pengumuman itu juga tidak bisa memberikan alasannya.

Hmm, apakah ada hubungannya dengan desas-desus yang santer terdengar, bahwa ada delman merah jambu yang berkeliaran di desa itu? Kabarnya, delman itu dikendarai seorang puteri cantik yang akan mengitari desa pada malam hari dan  mereka yang bertemu dengan delman itu akan sakit!

Ah, masa sih di zaman yang serba canggih seperti sekarang, masih ada yang seperti itu.

Alva, siswa pindahan dari Jogja, tidak percaya hal itu. Tapi, kenapa Mbak Rara, yang secara tidak sengaja bertemu dengan delman itu, benar-benar sakit?

Alva betul-betul penasaran! Bersama Dania, Randu dan Ilham, mereka akan menyelidikanya!

Menurut adik-adik, betul nggak ya kalau delman merah jambu dikendarai seorang puteri cantik dan mereka yang melihat akan sakit? Kenapa tiba-tiba  Desa Progowati kedatangan delman merah jambu? 

Siapa sebetulnya pengendara delman itu dan apa tujuannya?

Yuk, baca kisah serunya!

Judul                     : Misteri Delman Merah Jambu (Kecil-kecil Jadi Detektif)
Penulis                  : Aprilina Prastari
Penerbit                : DAR! Mizan



Rabu, 24 September 2014

Wandi S. Brata: “Jangan Remehkan Karya yang Sudah Kita Tulis”

(Oleh-oleh dari Writers Gathering BIP)

         Alhamdulillah, kemarin (24/9), saya diundang lagi untuk menghadiri writers gathering yang diadakan penerbit BIP Gramedia. Dalam sambutannya, Direktur Gramedia, Wandi S. Brata, menjelaskan bahwa seorang penulis adalah kreator. UU Hak Cipta melindungi karya penulis seumur hidup ditambah 70 tahun sesudahnya. Untuk naskah yang bersifat beli putus, hak tersebut tetap akan kembali kepada penulis setelah 25 tahun sesudah kontrak ditandatangani.
         Begitu pentingnya sebuah karya sehingga sebagai penulis kita pun harus menghargai karya penulis lain.
         “Kalau menulis dan mengambil kata-kata orang lain ya harus ditulis. Itu namanya menghargai hasil karya orang lain. Pembaca juga tahu kalau si penulis juga banyak membaca.”
         Bp Wandi juga menyarankan kami, para penulis dan ilustrator yang hadir, untuk mempromosikan buku sendiri dengan membawanya jika berpergian.
         “Jangan meremehkan karya yang sudah kita tulis. Dan jangan lupa stok buku di rumah” begitu kata beliau.
         Nah, selain beberapa sambutan dari Bp Wandi, Ibu Yola dari divisi marketing dan Mbak Noni, ada yang berbeda dari writers gathering kali ini.
         Ada Ibu Monica Kumalasari, seorang coach yang menjelaskan bagaimana persepsi dapat memengaruhi pikiran lalu perilaku kemudian kebiasaan akan membentuk karakter dan karakter akan menentukan nasib kita.
         “Maka, yang diperlukan adalah belief dan rasa percaya diri. Kalau mau sukses, level of confidence (LoC)-nya harus 10 dan level of inconfidence (LoI) harus 0.”
         Ibu Monica menekankan jika dalam diri  seseorang ada sedikit rasa tidak percaya, lambat lain rasa tidak percaya ini bisa menggerogoti sehingga akan mengganggu.
         Sesi berikutnya di acara ini, adalah pengumuman buku best seller. Alhamdulillah, buku yang kami tulis “Nikah Muda Nggak Bikin Mati Gaya” belum terpilih sebagai buku best seller kategori nonfiksi :D. Pemenangnya Deddy Corbuzier dengan buku OCD-nya.
         Deddy bercerita kalau awalnya naskah itu diberikan gratis di website-nya. Ternyata, banyak sekali yang download. Nah, melihat antusiasme masyarakat akhirnya naskah tersebut dibukukan.
         O iya, ada satu yang saya suka dari acara ini. Kami dibuatkan kartu nama dengan cover buku kami masing-masing. Kelihatannya sepele, ya. Ah, cuma dibuatin kartu nama. Tapi buat saya, meski saya juga punya kartu nama dari kantor, pemberian itu bentuk perhatian penerbit untuk penulis.

         Terima kasih ya Penerbit Bhuana Ilmu Populer. Semoga saya makin semangat menulis. Dan, Selamat Ulang Tahun! Semoga sukses dan melahirkan buku-buku yang baik, sehat dan berkualitas. 



Senin, 22 September 2014

Nilai PR Jelek, Anak Minder

Kisah berikut adalah kisah nyata. Nama anak, orangtua dan sekolah dirahasiakan.

X adalah anak yang ceria. Dia senang belajar dan selalu mengerjakan tugas. Suatu hari, dia mendapat PR matematika, soal cerita. Dengan bimbingan ibunya, X menyelesaikan PR tersebut.
Esok harinya, X pulang sekolah dengan wajah sedih. Padahal biasanya ia selalu pulang dengan gembira.

"PR matematikanya salah semua...” kata X.
“Lho, kok salah?” Ibu X mengamati PR-nya.
“Aku nggak pinter matematika ya, Bun,” X menangis.
“Siapa yang bilang?”
“Tu, PR matematikanya jelek”

Ibu X mencoba menenangkan anaknya dan menjelaskan bahwa jawabannya seharusnya benar.
Esok harinya Ibu X lalu ke sekolah menemui guru yang mengajar pelajaran tersebut. Ibu X lalu berdiskusi dengan guru tersebut. Sebelumnya, Ibu X, memang sudah mencari tahu dari orangtua lain. PR yang sama memang diberikan ke kelas 2 lain, dengan guru yang berbeda. Di kelas lain tersebut, jawaban guru sama dengan jawaban PR yang dibuat X.

Setelah diskusi, akhirnya diputuskan jawaban  PR X, benar semua. Ibu guru memang meminta maaf tetapi itu tak dapat menghilangkan perasaan sedih X. Angka “0” telanjur sudah dibubuhkan di lembar jawaban.

Perlu waktu cukup lama Ibu X membangkitkan semangat anaknya dan menanamkan kembali bahwa ia bisa matematika.

Para guru yang baik,

Dari kasus di atas, berhati-hatilah dalam memberi soal. Jika harus memberi soal cerita, buatlah kata-kata yang mudah dipahami anak. Dan paling penting, berhati-hatilah dalam memberi nilai jelek. Jika memang salah, sebaiknya sampaikan, “X sholihah, besok kita belajar lagi tentang perkalian ya.”

Bukankah tujuan mengerjakan PR agar anak belajar, mau mengulang pelajaran dan melihat sejauh mana materi yang diajarkan guru sudah diterima dengan baik oleh murid?


Kamis, 18 September 2014

WM Vs SHM: Apapun Pilihannya, Lakukan dengan Bahagia!


Tak jarang saya mendengar kalimat ini dari beberapa ibu (stay-at-home mom/SHM):

 “Enak ya, Bu, bisa kerja, punya penghasilan sendiri...”
“Saya bosen di rumah. Yang didenger cuma anak nangis,”
“Udah kuliah capek-capek, ujungnya ngurusin anak juga”

              Di sisi lain, saya mendengar beberapa kalimat ini dari ibu bekerja:
“Enak ya yang di rumah. Nggak pusing kalo ART pulang, bisa ngurusin dari pagi sampe malem kalo anak sakit”
“Pusing nih gue. Di kantor bete sama bos di rumah anak gue rewel. Capeeeek”

              Selalu. Selalu ada konsekuensi dari setiap pilihan.

Kenapa saya di rumah?

Untuk Bunda yang memutuskan menjadi SHM, pernahkah bertanya pada diri sendiri kenapa saya di rumah? Apakah dari hati yang paling dalam? Bukan karena paksaan dari suami? Kalau memang permintaan suami, apakah ikhlas melakukannya?
Sebagai seorang isteri, tentu meminta izin suami adalah keharusan. Tapi, sudahkah kita memahami hal-hal hebat apa yang akan kita lakukan dan hasilkan jika di rumah? Sudahkah merencanakan apa yang akan kita lakukan di rumah agar tidak melulu jenuh?

Saya paham bagaimana sibuknya seorang ibu di rumah. Sebelum Subuh, Bunda sudah harus bangun, menyiapkan sarapan dan bekal sekolah anak-anak. Sore hari, Bunda masih punya waktu untuk bermain, mengajarkan PR, mengantar les musik atau keterampilan lain, hingga bakatnya bisa tersalurkan dengan baik.

Bukankah suatu kebahagiaan ketika anak mengatakan, “aku suka masakan Bunda,” atau dengan bangga dia cerita ke teman-temannya, “aku jago main piano karena diajarin mamaku, lho.”

Kenapa Saya Bekerja?

Untuk bunda bekerja, pernahkah kita merenung, kenapa saya bekerja?
Apakah karena hanya sayang ijazah dan tak mau hanya di rumah?
Atau keinginan membantu suami memenuhi kebutuhan keluarga? Mencicil rumah, misalnya?

Saya paham betapa beratnya menjadi ibu bekerja. Sebelum Subuh, sudah harus bangun lalu memberikan instruksi kepada ART apa yang harus dimasak, lalu menyempatkan untuk bermain dan menyiapkan keperluan anak (mandi, mengecek keperluan sekolah).
Siang hari, di sela-sela meeting dengan klien, Bunda harus menjawab telpon dari anak, menanyakan kabar mereka, bagaimana di sekolah. Dan malam hari, Bunda masih harus menyempatkan diri membacakan buku cerita untuk mereka sebelum tidur. Padahal, sebelumnya Bunda harus berjuang melewati kemacetan Jakarta. Belum lagi kalau anak sakit atau (yang paling seru) selesai libur lebaran, ART atau pengasuh belum kembali.
Namun, segala kelelahan Bunda, In syaa Allah akan diingat oleh suami, sebagai rasa sayang, rasa peduli, untuk bersama-sama mencapai harapan. Memulai rumah tangga dari nol hingga ada saatnya nanti Bunda akan kembali penuh di rumah. Begitu juga dengan anak-anak. Mereka akan melihat Bunda sebagai ibu yang pandai mengatur waktu, tetap dekat dengan keluarga.

 Apapun yang kemudian kita jalani sesudah menikah, lakukan dengan tujuan dan rencana. Kedua hal itu yang akan membuat kita nyaman dan bersemangat. 
Untuk SHM, memiliki tujuan dan rencana akan menjauhkan kita dari rasa jenuh, rasa tidak diakui, merasa diri tidak berarti. Untuk WM, mengurangi perasaan bersalah, dan bahagia meski bekerja. 
“Saya mau bekerja hingga cicilan rumah lunas, setelah itu mau usaha dari rumah.”
“Meski saya di rumah tapi saya akan tetap mengembangkan kemampuan saya berbahasa Inggris dengan mengajar di rumah, dan akan tetap berorganisasi, sambil menulis.”

Berhentilah mengasihani diri sendiri. Berhentilah merasa bahwa menjadi ibu bekerja lebih enak dari ibu penuh waktu dan begitu juga sebaliknya. Dan berhentilah menyindir atau bersikap nyiyir terhadap pilihan ibu lain.

Apapun yang kita pilih, jalani dengan bahagia.


Salam
Aprilina Prastari

Penulis buku “Happy Working Mom” dan “Nikah Muda Nggak Bikin Mati Gaya”



(In syaa Allah, tulisan saya berikutnya: “Sudah Saatnyakah Saya Berhenti Kerja Kantoran?”)

Kamis, 04 September 2014

Patah Hati? No, Thanks!

Kita sebetulnya memahami bahwa Allah Swt adalah penentu terbaik hidup kita. Tapi, apakah kita benar-benar meyakini dan mengaplikasikannya ke dalam kehidupan kita?

Ambil contoh, dalam hal jodoh. Berapa banyak perempuan yang patah hati karena laki-laki yang ia kagumi ternyata menikah dengan perempuan lain? Berapa banyak perempuan yang sulit move on ketika tak dapat menikah dengan seseorang yang ia sukai?

“Dia cinta pertamaku. Kayanya aku nggak bisa ngelupain dia ...”
"Aku merasa dia terbaik untukku. Aku cuma mau nikah sama dia ..."

Nah, lhoh!

Di buku “Nikah Muda Nggak Bikin Mati Gaya” (teteuup ada promosi :D), saya menceritakan kisah saya sebelum menikah. Meski saya merasa sudah menemukan laki-laki yang baik dan tepat, saya tidak memaksa Allah menjadikan dia jodoh saya. Saya tetap berdoa, jika menurut-Mu, dia terbaik untukku, persatukan dalam pernikahan. Jika tidak, jauhkan dia, dan kuatkanlah hatiku.

Saya sungguh percaya, ketika kita melibatkan Allah dalam urusan apapun, dan di tengah jalan menemui masalah, kita yakin, Allah Maha Berkehendak.

Adik-adikku yang saat ini sedang patah hati atau sedang mencari cinta sejati, ...

Kalau saat ini kamu merasa menemukan seseorang yang menurutmu baik namun karena sesuatu hal 
ada hambatan, percayalah, Allah sedang berencana memberikan jodoh terbaik untukmu. Bisa juga, Allah sedang menguji keimananmu.

Terlalu banyak kegiatan yang jauh lebih bermanfaat daripada menangis, meratapi diri dan merasa masalahmu terlalu berat (Hello, nanti kalau kamu sudah menikah, punya anak, kamu baru merasakan bahwa masalah ketika sebelum menikah itu jauh lebih ringaaan).

Apalagi kalau sekarang kamu masih kuliah dan usia masih muda. Duuuh, masih banyak bangeeeet yang bisa kamu lakukan untuk menjadi pribadi yang hebat!

Menangis, boleh. Saya kasih waktu seminggu, ya (berasa lagi kasih tugas ke mahasiswa :D). Tapi habis itu, harus bangkit. Buktikan kepada dunia, kamu berhak mendapat jodoh terbaik yang akan memberimu kebahagiaan dunia dan akhirat.

Khusus adik-adik yang perempuan, peluk hangat dari jauh J

Senin, 25 Agustus 2014

Meninggalkan Anak dengan Pengasuh Baru

Tulisan ini dimuat di Koran Sindo, Sabtu, 23 Agustus 2014.

Semoga bermanfaat.

Perbincangan yang sedang jadi trending topic saat ini, baik di kantor, warung sayur, maupun sekolah, hampir sama: asisten rumah tangga (ART) atau pengasuh belum atau tidak lagi kembali bekerja! 

Bagi ibu bekerja, masalah ini memang memusingkan kepala. Apalagi kalau di rumah anak hanya tinggal dengan pengasuh tanpa ada orang tua atau keluarga lain yang mengawasi. Mau tidak mau, orang tua harus ekstracepat supaya dapat bekerja kembali dengan tenang. Sayangnya, meski pengasuh baru sudah ada, persoalan tidak selesai sampai di sini. Ada tantangan yang (jauh lebih) besar yang harus dihadapi orang tua. 

Apalagi jika orang tua terpaksa merekrut meski sebenarnya kurang sreg di hati sehingga mengabaikan syarat-syarat yang sudah orang tua buat dalam merekrut pengasuh baru. “Ya, daripada lama nggak dapat pengasuh, terpaksa deh aku ambil.” “Sebetulnya sih aku cari yang sudah berpengalaman tapi karena nggak ada, ya mau bagaimana lagi. Masa aku mau tambah cuti sih.” Namun, jangan sampai, karena ingin cepat memiliki pengasuh, hak anak jadi terabaikan. 

Di dalam buku yang saya tulis, Berdamai dengan Asisten di Rumah (2010), masa-masa penyesuaian antara ibu, anak dan pengasuh biasanya terjadi dalam tiga bulan pertama. Selama waktu tersebut, ibu dapat melihat dan pada akhirnya memutuskan apakah dapat melanjutkan menggunakan jasa pengasuh tersebut atau terpaksa mengganti. Apa saja yang akan ibu dan pengasuh lakukan selama waktu pengenalan tersebut? 

Adaptasi Anak dan Pengasuh 

Pada saat awal, tidak hanya anak yang perlu menyesuaikan diri dengan pengasuh barunya. Orang tua, khususnya ibu yang palingseringberinteraksidengan pengasuh, dan pengasuh itu sendiri pun perlu penyesuaian. Untuk anak, tidak semua dari mereka mudah menerima seseorang yang baru ia kenal. Apalagi jika anak terlalu dekat dengan pengasuh sebelumnya. Atau, pengasuh baru kurang menunjukkan sikap yang bersahabat. 

Misalnya, tidak berusaha mengajak anak bermain atau tidak menunjukkan wajah yang ramah atau sikap yang bersahabat. Hal ini menyebabkan anak merasa kurang nyaman. Nah, jika anak sudah dapat memahami perkataan orang tua, sebaiknya, ketika proses mencari pengasuh baru, anak sudah diberi tahu bahwa akan ada mbak baru yang akan menjaganya selama ibu bekerja. 

Jika memungkinkan dan diizinkan oleh divisi HRD tempat ibu bekerja, mintalah tambahan cuti (tanpa dibayar atau mengambil cuti tahun berikutnya) agar ibu dapat menemani anak dengan pengasuh barunya selama beberapa hari. Solusi lain, mengerjakan pekerjaan kantor dari rumah dan mengirimnya via email. Dulu, ketika masih bekerja di advertising agency, saya pernah melakukan cara ini. Tentu, ibu yang paling mengerti bagaimana kondisi kantor dan kebijakan yang ada. 

Maka, sebaiknya, rencana-rencana seperti ini sudah dipikirkan jauh-jauh hari. Namun jika ibu benar-benar tidak dapat meninggalkan pekerjaan, setidaknya ada keluarga yang mengawasi anak dengan pengasuh barunya. Untuk pengasuh, meski berpengalaman dalam mengurus anak, tentu perlu waktu untuk mengenal anak yang akan dijaganya. 

Idealnya, sebelum mengundurkan diri, pengasuh lama sebaiknya masih ada di rumah ketika pengasuh baru datang sehingga ia dapat belajar langsung dan melihat dulu bagaimana kebiasaan di rumah, terutama yang menyangkut kebiasaan anak. Namun jika tidak dapat dilakukan, ibu juga perlu memberi waktu agar pengasuh baru dapat mengenal anak dengan baik. Jika ibu diizinkan mendapat cuti tambahan, pada hari pertama biarkan pengasuh hanya melihat dulu kebiasaan yang dilakukan anak. 

Kegiatan makan, mandi, sebaiknya tetap dilakukan oleh ibu. Hari kedua, ibu sudah bisa memintanya mengajak bermain dengan anak. Hari ketiga, lihat bagaimana reaksi anak. Jika ia terlihat mau berinteraksi dengan pengasuh, ibu dapat meminta pengasuh untuk bergantian menyuapi atau menemaninya makan. Begitu juga dengan mandi. Lalu, bagaimana dengan aturan? 

Melihat pendidikan dan usia pengasuh, kita juga perlu pertimbangkan apakah pengasuh dapat cepat menerima pesan dari ibu atau tidak. Jika aturan langsung diterapkan, pengasuh dikhawatirkan akan merasa takut atau kaget. “Duh, aturannya kok banyak, ya? Aku bisa nggak ya mengerjakannya? Kalau anaknya nggak mau nurut gimana?” 

Kira-kira seperti itulah perasaan yang dialami pengasuh jika ibu langsung memberi komando dalam jangka waktu cepat. Biarkan pengasuh merasa nyaman mengurus anak lalu pelanpelan beri tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam mengurus anak. 

Hindari Melakukan Hal yang Ditakutkan Anak 

Menurut ibu, apa yang biasanya ditakutkan anak? Bisa minum obat. Atau, mainan yang bentuknya tidak disukai anak. Maka jangan sampai pengasuh melakukan sesuatu yang tidak disukai anak, apalagi yang dapat membuatnya trauma. 

Hal sepele misalnya saat mengeramasi anak. Ada anak yang tidak mau langsung diguyur dengan gayung tapi menggunakan shower. Jika pengasuh mengabaikan, bisa jadi, anak menjadi kesal dan merasa pengasuh tidak mengerti apa yang ia inginkan. 

Menjaga Kedekatan Orang Tua dan Anak 

Terkait dengan terlalu dekatnya anak dengan pengasuh lama, ini memang harus diantisipasi sejak ibu memilih menjadi ibu bekerja. Ada b a n y a k cara yang dapat ibu lakukan sehingga anak dekat dengan pengasuh namun tidak tergantung. Bukankah pengasuh pada akhirnya akan menikah, punya anak dan belum tentu dapat bekerja kembali? Apa jadinya jika anak mengalami demam, tidak mau makan kalau tidak dengan pengasuhnya? 

Apakah ibu tidak nelangsa melihatnya? Untuk itu, tak dapat ditawar lagi, menjaga kedekatan antara orang tua dan anak adalah keharusan. Caranya? Pertama, terapkan bahwa pengasuh hanya membantu ibu ketika ibu tidak ada di rumah untuk bekerja. Artinya, ketika di rumah, ibu dan bapak yang harus mengurus sendiri anak. Kedua, luangkan waktu hanya untuk anak. 

Waktu itu bisa digunakan untuk mendongeng, bermain, atau melakukan kegiatan lain yang hanya dilakukan oleh anak dan orang tua tanpa pengasuh. Jadi sebaiknya, saat liburan dan pergi bersama, usahakan tak perlu membawa pengasuh. ibu dan bapak juga bisa menentukan kegiatan apa yang hanya boleh dilakukan oleh ibu dan bapak setiap hari. Misal, setiap pagi, harus ibu yang memandikan anak. Atau, tiap malam sebelum tidur, harus bapak yang mendongeng. 

Ketiga, perbanyaklah memegang, mengelus, memeluk dan menyentuhnya. Dr. William Sears dalam bukunya The SuccessfulChild (2006) mengatakan, anak yang sering dipeluk akan memiliki kedekatan dengan orang tuanya. Yang paling penting dari semuanya, banyaklah berdoa agar anak tetap dekat dengan orang tuanya. 

Haruskah Dilanjutkan? 

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, karena beberapa alasan, tidak semua orang tua pada akhirnya merekrut pengasuh sesuai dengan kriteria. Apa yang sudah dilakukan pengasuh tentu dapat menjadi pertimbangan bagi orang tua apakah akan melanjutkan atau mengganti. Memang, perlu waktu lagi untuk mengganti. Maka kita pun perlu menganalisisnya dengan bijaksana dan kepala dingin. 

Tentu, setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan. Tinggal kita lihat sejauh mana kekurangannya. Apakah masih dapat ditolerir dan diperbaiki? Contohnya, jika pengasuh sering lupa melakukan sesuatu yang ibu inginkan, mungkin ini kekurangan yang dapat ditoleransi. Namun, perlu dipertimbangkan diganti, jika pengasuh kedapatan memarahi anak, menggunakan kata-kata kasar hingga memukul. 

Hal itu dapat terlihat dari perubahan perilaku anak, anak menunjukkan ketakutan yang berlebihan jika ditinggal atau mengigau sesuatu yang kurang baik tentang pengasuh. Ibu dan bapak tentu memiliki kriteria sendiri dan paling memahami bagaimana pengasuh yang tepat untuk anakanak di rumah. 

Yang penting, sebagai ibu bekerja, kita sepatutnya memiliki prioritas dan alasan yang kuat mengapa harus bekerja dan tidak mengorbankan anak-anak demi karier.