Rabu, 24 September 2014

Wandi S. Brata: “Jangan Remehkan Karya yang Sudah Kita Tulis”

(Oleh-oleh dari Writers Gathering BIP)

         Alhamdulillah, kemarin (24/9), saya diundang lagi untuk menghadiri writers gathering yang diadakan penerbit BIP Gramedia. Dalam sambutannya, Direktur Gramedia, Wandi S. Brata, menjelaskan bahwa seorang penulis adalah kreator. UU Hak Cipta melindungi karya penulis seumur hidup ditambah 70 tahun sesudahnya. Untuk naskah yang bersifat beli putus, hak tersebut tetap akan kembali kepada penulis setelah 25 tahun sesudah kontrak ditandatangani.
         Begitu pentingnya sebuah karya sehingga sebagai penulis kita pun harus menghargai karya penulis lain.
         “Kalau menulis dan mengambil kata-kata orang lain ya harus ditulis. Itu namanya menghargai hasil karya orang lain. Pembaca juga tahu kalau si penulis juga banyak membaca.”
         Bp Wandi juga menyarankan kami, para penulis dan ilustrator yang hadir, untuk mempromosikan buku sendiri dengan membawanya jika berpergian.
         “Jangan meremehkan karya yang sudah kita tulis. Dan jangan lupa stok buku di rumah” begitu kata beliau.
         Nah, selain beberapa sambutan dari Bp Wandi, Ibu Yola dari divisi marketing dan Mbak Noni, ada yang berbeda dari writers gathering kali ini.
         Ada Ibu Monica Kumalasari, seorang coach yang menjelaskan bagaimana persepsi dapat memengaruhi pikiran lalu perilaku kemudian kebiasaan akan membentuk karakter dan karakter akan menentukan nasib kita.
         “Maka, yang diperlukan adalah belief dan rasa percaya diri. Kalau mau sukses, level of confidence (LoC)-nya harus 10 dan level of inconfidence (LoI) harus 0.”
         Ibu Monica menekankan jika dalam diri  seseorang ada sedikit rasa tidak percaya, lambat lain rasa tidak percaya ini bisa menggerogoti sehingga akan mengganggu.
         Sesi berikutnya di acara ini, adalah pengumuman buku best seller. Alhamdulillah, buku yang kami tulis “Nikah Muda Nggak Bikin Mati Gaya” belum terpilih sebagai buku best seller kategori nonfiksi :D. Pemenangnya Deddy Corbuzier dengan buku OCD-nya.
         Deddy bercerita kalau awalnya naskah itu diberikan gratis di website-nya. Ternyata, banyak sekali yang download. Nah, melihat antusiasme masyarakat akhirnya naskah tersebut dibukukan.
         O iya, ada satu yang saya suka dari acara ini. Kami dibuatkan kartu nama dengan cover buku kami masing-masing. Kelihatannya sepele, ya. Ah, cuma dibuatin kartu nama. Tapi buat saya, meski saya juga punya kartu nama dari kantor, pemberian itu bentuk perhatian penerbit untuk penulis.

         Terima kasih ya Penerbit Bhuana Ilmu Populer. Semoga saya makin semangat menulis. Dan, Selamat Ulang Tahun! Semoga sukses dan melahirkan buku-buku yang baik, sehat dan berkualitas. 



Senin, 22 September 2014

Nilai PR Jelek, Anak Minder

Kisah berikut adalah kisah nyata. Nama anak, orangtua dan sekolah dirahasiakan.

X adalah anak yang ceria. Dia senang belajar dan selalu mengerjakan tugas. Suatu hari, dia mendapat PR matematika, soal cerita. Dengan bimbingan ibunya, X menyelesaikan PR tersebut.
Esok harinya, X pulang sekolah dengan wajah sedih. Padahal biasanya ia selalu pulang dengan gembira.

"PR matematikanya salah semua...” kata X.
“Lho, kok salah?” Ibu X mengamati PR-nya.
“Aku nggak pinter matematika ya, Bun,” X menangis.
“Siapa yang bilang?”
“Tu, PR matematikanya jelek”

Ibu X mencoba menenangkan anaknya dan menjelaskan bahwa jawabannya seharusnya benar.
Esok harinya Ibu X lalu ke sekolah menemui guru yang mengajar pelajaran tersebut. Ibu X lalu berdiskusi dengan guru tersebut. Sebelumnya, Ibu X, memang sudah mencari tahu dari orangtua lain. PR yang sama memang diberikan ke kelas 2 lain, dengan guru yang berbeda. Di kelas lain tersebut, jawaban guru sama dengan jawaban PR yang dibuat X.

Setelah diskusi, akhirnya diputuskan jawaban  PR X, benar semua. Ibu guru memang meminta maaf tetapi itu tak dapat menghilangkan perasaan sedih X. Angka “0” telanjur sudah dibubuhkan di lembar jawaban.

Perlu waktu cukup lama Ibu X membangkitkan semangat anaknya dan menanamkan kembali bahwa ia bisa matematika.

Para guru yang baik,

Dari kasus di atas, berhati-hatilah dalam memberi soal. Jika harus memberi soal cerita, buatlah kata-kata yang mudah dipahami anak. Dan paling penting, berhati-hatilah dalam memberi nilai jelek. Jika memang salah, sebaiknya sampaikan, “X sholihah, besok kita belajar lagi tentang perkalian ya.”

Bukankah tujuan mengerjakan PR agar anak belajar, mau mengulang pelajaran dan melihat sejauh mana materi yang diajarkan guru sudah diterima dengan baik oleh murid?


Kamis, 18 September 2014

WM Vs SHM: Apapun Pilihannya, Lakukan dengan Bahagia!


Tak jarang saya mendengar kalimat ini dari beberapa ibu (stay-at-home mom/SHM):

 “Enak ya, Bu, bisa kerja, punya penghasilan sendiri...”
“Saya bosen di rumah. Yang didenger cuma anak nangis,”
“Udah kuliah capek-capek, ujungnya ngurusin anak juga”

              Di sisi lain, saya mendengar beberapa kalimat ini dari ibu bekerja:
“Enak ya yang di rumah. Nggak pusing kalo ART pulang, bisa ngurusin dari pagi sampe malem kalo anak sakit”
“Pusing nih gue. Di kantor bete sama bos di rumah anak gue rewel. Capeeeek”

              Selalu. Selalu ada konsekuensi dari setiap pilihan.

Kenapa saya di rumah?

Untuk Bunda yang memutuskan menjadi SHM, pernahkah bertanya pada diri sendiri kenapa saya di rumah? Apakah dari hati yang paling dalam? Bukan karena paksaan dari suami? Kalau memang permintaan suami, apakah ikhlas melakukannya?
Sebagai seorang isteri, tentu meminta izin suami adalah keharusan. Tapi, sudahkah kita memahami hal-hal hebat apa yang akan kita lakukan dan hasilkan jika di rumah? Sudahkah merencanakan apa yang akan kita lakukan di rumah agar tidak melulu jenuh?

Saya paham bagaimana sibuknya seorang ibu di rumah. Sebelum Subuh, Bunda sudah harus bangun, menyiapkan sarapan dan bekal sekolah anak-anak. Sore hari, Bunda masih punya waktu untuk bermain, mengajarkan PR, mengantar les musik atau keterampilan lain, hingga bakatnya bisa tersalurkan dengan baik.

Bukankah suatu kebahagiaan ketika anak mengatakan, “aku suka masakan Bunda,” atau dengan bangga dia cerita ke teman-temannya, “aku jago main piano karena diajarin mamaku, lho.”

Kenapa Saya Bekerja?

Untuk bunda bekerja, pernahkah kita merenung, kenapa saya bekerja?
Apakah karena hanya sayang ijazah dan tak mau hanya di rumah?
Atau keinginan membantu suami memenuhi kebutuhan keluarga? Mencicil rumah, misalnya?

Saya paham betapa beratnya menjadi ibu bekerja. Sebelum Subuh, sudah harus bangun lalu memberikan instruksi kepada ART apa yang harus dimasak, lalu menyempatkan untuk bermain dan menyiapkan keperluan anak (mandi, mengecek keperluan sekolah).
Siang hari, di sela-sela meeting dengan klien, Bunda harus menjawab telpon dari anak, menanyakan kabar mereka, bagaimana di sekolah. Dan malam hari, Bunda masih harus menyempatkan diri membacakan buku cerita untuk mereka sebelum tidur. Padahal, sebelumnya Bunda harus berjuang melewati kemacetan Jakarta. Belum lagi kalau anak sakit atau (yang paling seru) selesai libur lebaran, ART atau pengasuh belum kembali.
Namun, segala kelelahan Bunda, In syaa Allah akan diingat oleh suami, sebagai rasa sayang, rasa peduli, untuk bersama-sama mencapai harapan. Memulai rumah tangga dari nol hingga ada saatnya nanti Bunda akan kembali penuh di rumah. Begitu juga dengan anak-anak. Mereka akan melihat Bunda sebagai ibu yang pandai mengatur waktu, tetap dekat dengan keluarga.

 Apapun yang kemudian kita jalani sesudah menikah, lakukan dengan tujuan dan rencana. Kedua hal itu yang akan membuat kita nyaman dan bersemangat. 
Untuk SHM, memiliki tujuan dan rencana akan menjauhkan kita dari rasa jenuh, rasa tidak diakui, merasa diri tidak berarti. Untuk WM, mengurangi perasaan bersalah, dan bahagia meski bekerja. 
“Saya mau bekerja hingga cicilan rumah lunas, setelah itu mau usaha dari rumah.”
“Meski saya di rumah tapi saya akan tetap mengembangkan kemampuan saya berbahasa Inggris dengan mengajar di rumah, dan akan tetap berorganisasi, sambil menulis.”

Berhentilah mengasihani diri sendiri. Berhentilah merasa bahwa menjadi ibu bekerja lebih enak dari ibu penuh waktu dan begitu juga sebaliknya. Dan berhentilah menyindir atau bersikap nyiyir terhadap pilihan ibu lain.

Apapun yang kita pilih, jalani dengan bahagia.


Salam
Aprilina Prastari

Penulis buku “Happy Working Mom” dan “Nikah Muda Nggak Bikin Mati Gaya”



(In syaa Allah, tulisan saya berikutnya: “Sudah Saatnyakah Saya Berhenti Kerja Kantoran?”)

Kamis, 04 September 2014

Patah Hati? No, Thanks!

Kita sebetulnya memahami bahwa Allah Swt adalah penentu terbaik hidup kita. Tapi, apakah kita benar-benar meyakini dan mengaplikasikannya ke dalam kehidupan kita?

Ambil contoh, dalam hal jodoh. Berapa banyak perempuan yang patah hati karena laki-laki yang ia kagumi ternyata menikah dengan perempuan lain? Berapa banyak perempuan yang sulit move on ketika tak dapat menikah dengan seseorang yang ia sukai?

“Dia cinta pertamaku. Kayanya aku nggak bisa ngelupain dia ...”
"Aku merasa dia terbaik untukku. Aku cuma mau nikah sama dia ..."

Nah, lhoh!

Di buku “Nikah Muda Nggak Bikin Mati Gaya” (teteuup ada promosi :D), saya menceritakan kisah saya sebelum menikah. Meski saya merasa sudah menemukan laki-laki yang baik dan tepat, saya tidak memaksa Allah menjadikan dia jodoh saya. Saya tetap berdoa, jika menurut-Mu, dia terbaik untukku, persatukan dalam pernikahan. Jika tidak, jauhkan dia, dan kuatkanlah hatiku.

Saya sungguh percaya, ketika kita melibatkan Allah dalam urusan apapun, dan di tengah jalan menemui masalah, kita yakin, Allah Maha Berkehendak.

Adik-adikku yang saat ini sedang patah hati atau sedang mencari cinta sejati, ...

Kalau saat ini kamu merasa menemukan seseorang yang menurutmu baik namun karena sesuatu hal 
ada hambatan, percayalah, Allah sedang berencana memberikan jodoh terbaik untukmu. Bisa juga, Allah sedang menguji keimananmu.

Terlalu banyak kegiatan yang jauh lebih bermanfaat daripada menangis, meratapi diri dan merasa masalahmu terlalu berat (Hello, nanti kalau kamu sudah menikah, punya anak, kamu baru merasakan bahwa masalah ketika sebelum menikah itu jauh lebih ringaaan).

Apalagi kalau sekarang kamu masih kuliah dan usia masih muda. Duuuh, masih banyak bangeeeet yang bisa kamu lakukan untuk menjadi pribadi yang hebat!

Menangis, boleh. Saya kasih waktu seminggu, ya (berasa lagi kasih tugas ke mahasiswa :D). Tapi habis itu, harus bangkit. Buktikan kepada dunia, kamu berhak mendapat jodoh terbaik yang akan memberimu kebahagiaan dunia dan akhirat.

Khusus adik-adik yang perempuan, peluk hangat dari jauh J