"Delman Merah Jambu"
Aprilina Prastari
Bab 1
Peraturan yang Menakutkan
Alva mempercepat langkahnya. Wajahnya
sedikit cemberut. Tadi pagi dia bangun
kesiangan. Biasanya, anak kelas VI SD itu sudah bangun saat adzan Subuh berkumandang
lalu sholat berjamaah bersama Ayah dan Kak Sarah. Tapi, berhubung Ayah sedang
ke luar kota, Alva jadi kesiangan. Lho, apa hubungannya? Ada, dong! Soalnya Alva
cuma mau bangun pagi kalau Ayah yang membangunkan.
“Ya
ampuun, Alva! Belum bangun juga! Kakak harus berangkat jam setengah enam, nih.
Nanti Kakak tinggal, ya!” ancam Kak Sarah tadi pagi. Hari itu Kak Sarah ada
lomba memasak di sekolahnya, jadi harus berangkat lebih pagi dari biasanya.
“Alva!
Ayo bangun!” Kak Sarah kembali membangunkan adik satu-satunya itu.
Tapi,
bukannya langsung bangun, Alva malah menarik selimutnya lagi.
“Aku
masih ngantuk, Kak. Whooaam,” kata Alva sambil menguap. Malam sebelumnya, anak
bertubuh atletis itu memang tak dapat tidur nyenyak. Sepulang latihan silat,
kakinya terkilir sehingga nyeri. Untung Mbok Na, pembantu keluarga mereka, bisa
mengurut. Setelah itu, barulah Alva bisa tidur dengan nyenyak.
Sampai
Kak Sarah harus berangkat, Alva belum bangun juga. Jadi terpaksa deh, Alva
ditinggal. Ia baru bangun ketika Mbok Na mengetuk pintu kamarnya keras-keras.
“Mas
Alvaa, Maaas, banguun, sudah jam enam kurang,” teriak Mbok Na dengan logat
Jawanya.
“Hah?!
Jam enam! Waduh, aku telat, deh!” seru Alva langsung melompat dari tempat tidur.
Selesai
mandi dan berpakaian, tanpa sempat sarapan, Alva segera berangkat. Biasanya kalau
diantar Kak Sarah naik motor, jarak dari rumah ke sekolah bisa ditempuh selama dua
puluh menit tapi kalau tidak diantar, memakan waktu sekitar empat puluh lima
menit. Jarak rumah ke sekolah Alva memang cukup jauh. Dari rumah, ia harus naik
angkot lalu turun di perempatan kantor pos. Dari situ, ia masih harus berjalan
sejauh kurang lebih lima ratus meter.
Sambil
berjalan menuju sekolahnya, Alva menendang batu-batu kerikil yang memenuhi
jalan. Jalanan di sana memang masih banyak yang belum diaspal. Berbeda dengan
sekolah Alva waktu di Yogya dulu. Meski bukan sekolah favorit, tapi bangunannya
bagus dan terawat rapi. Jaraknya juga dekat dari rumah. Tinggal jalan kaki lima
belas menit, sampai deh. Ah, Alva jadi kangen sekolahnya itu. Selain dekat,
jalannya lebih bagus. Alva juga tidak pernah terburu-buru seperti tadi pagi
karena ada Ibu yang selalu membangunkannya. Tapi sekarang ...
***
Sudah delapan bulan Ibu meninggalkan
Alva, Kak Sarah dan Ayah. Meninggalkan orang-orang yang Ibu cintai. Setelah dua
bulan dirawat di rumah sakit, Ibu berpulang ke Sang Maha Pencipta. Waktu itu, Alva
tak bisa berhenti menangis. Dia memang sangat dekat dengan Ibu. Biarpun
terlihat mandiri, tapi kalau dengan Ibu, Alva masih suka manja. Saking
sedihnya, Alva bahkan pernah tanya pada Allah, kenapa Ibu harus meninggalkannya
secepat itu.
“Alva
sayang Ibu, kan?” tanya Ayah saat itu.
Alva
mengangguk sambil terus menangis.
“Allah
juga sayang Ibu. Allah enggak mau Ibu terus-terusan sakit. Makanya, Allah
memanggil Ibu supaya enggak merasa sakit lagi.”
Cukup
lama Alva merasa sangat sedih dan kesepian. Biasanya, kalau Alva pulang
sekolah, selalu ada Ibu yang membuatkan minuman segar. Kalau dia capek sehabis
main bola, Ibu pasti siap dengan minyak zaitun dan minyak kayu putih untuk
mengurut kakinya. Tapi sejak enggak ada Ibu ...
“Alva!”
Sebuah
suara membuyarkan lamunan Alva. Dilihatnya Randu sedang berlari ke arahnya.
“Hei!
Kesiangan juga?” sapa Alva sambil tersenyum.
“Bulikku sakit. Jadi aku harus bantu beres-beres rumah dulu,” jawab Randu. Bulik adalah panggilan orang Jawa untuk
Tante.
“Eh,
kemarin ke mana? Kok ndak masuk?”
tanya Randu dengan logat Jawanya yang kental.
“Kurang
enak badan. Kakiku terkilir sewaktu latihan silat,” jawabnya.
Randu
mengangguk-angguk. Anak bertubuh gemuk dan berambut ikal itu adalah teman
sekelas Alva. Ia anak yang menyenangkan dan suka bergaul dengan siapa saja.
Waktu Alva baru pindah ke sekolah itu, Randu, teman pertama yang mengajaknya
mengobrol.
Mendekati
pukul 7.10 WIB, suasana kelas VI Ceria semakin ramai. O ya, di sekolah ini,
tiap kelas memiliki nama-nama yang bisa membuat murid-muridnya semangat. Ada
kelas VI Amanah, kelas VI Berani dan VI Ceria. Tak lama setelah bel berbunyi,
Pak Gatot, Wali Kelas VI Ceria masuk dan memberitahukan sebuah pengumuman.
“Anak-anak,
sebelum memulai pelajaran, ada pengumuman penting yang harus Bapak sampaikan,” kata
Pak Gatot di depan kelas.
“Wah,
apa, Pak?” tanya Randu bersemangat.
“Kambingnya
Randu mau beranak ya, Pak,” celetuk Awan jahil. Awan memang terkenal usil dan
mau tahu urusan orang lain. Ayahnya, Pak Karto, adalah pengurus desa sekaligus
pemilik kios di pasar.
“Hahahaha.” Seluruh kelas tertawa. Randu
cuma bisa cemberut tapi sehabis itu ia kembali tersenyum. Anak berkulit sawo
matang itu memang tidak bisa marah lama-lama.
Pak
Gatot tersenyum lalu melanjutkan bicaranya.
“Kemarin,
Pak Kepala Sekolah dan guru-guru rapat. Beliau menyampaikan pesan penting dari
Pak Kepala Desa,” sejenak Pak Gatot diam. Anak-anak yang semula tertawa ikut
diam.
Ada apa ya?
Mereka bertanya-tanya dalam hati.
Pak
Gatot menatap murid-muridnya satu per satu.
“Anak-anak,
Pak Kades meminta semua anak yang berusia di bawah lima belas tahun, harus
sudah berada di rumah sebelum pukul tujuh malam,” Pak Gatot berkata dengan hati-hati.
Anak-anak
terdiam. Beberapa di antara mereka melirik ke arah Ilham. Ilham jadi serba
salah. Sebagai anak Kepala Desa, ia pun tidak tahu mengapa ayahnya membuat
keputusan seperti itu.
Hingga
akhirnya, Alva memberanikan diri untuk bertanya.
“Pak
Gatot, mengapa kami sudah harus berada di rumah sebelum pukul tujuh?” tanyanya.
Guru
santun itu terdiam. Beliau terlihat ragu-ragu menjawabnya. Tiba-tiba, dari arah
belakang kelas, Awan bertanya, “Apa ada hubungannya dengan Delman Merah Jambu,
Pak?”
“Delman
Merah Jambu?” seluruh anak serempak bertanya. Kelas yang semula tenang berubah
menjadi gaduh. Mereka saling berpandangan dan bertanya-tanya.
Pak
Gatot juga terkejut mendengar ucapan Awan, tapi kemudian berusaha menenangkan
siswa-siswinya.
“Tenang
anak-anak... Tenang ... Kita akan membicarakan ini lagi, nanti. Sekarang kita
belajar dulu. Bapak harap kalian setuju,” jawab Pak Gatot akhirnya.
Meski
terlihat masih sangat penasaran, mereka tidak berani bertanya lebih lanjut.
Yang jelas, saat istirahat, mereka langsung mengerubungi Awan.
“Kenapa
dengan Delman Merah Jambu, Wan?” tanya Randu.
“Iya,
Wan, memang siapa pemiliknya?” kali ini Alva yang bertanya.
“Kenapa
harus ditakuti, Wan? Apa ada hantunya?” seorang anak, entah siapa, bertanya
dari arah samping.
“Hantu??
Hiii ...” anak-anak perempuan mulai ketakutan.
“Yaa...
mana aku tahu ...” jawab Awan santai.
“Huuu!”
mereka menyoraki Awan. “Terus, kenapa kamu tadi tanya apa ada hubungannya sama Delman Merah Jambu?” Randu yang bertanya
lagi.
“Semalam,
Bapakku dipanggil Pak Kades. Nah, pulangnya, aku mendengar Bapak bercerita ke
Ibuku. Katanya, di desa kita ini ada Delman Merah Jambu. Begitu ...” Awan
mencoba memberi penjelasan.
“Terus,
apa hubungannya sama peraturan baru dari Pak Kades? Kenapa kita sudah harus
berada di rumah sebelum jam tujuh?” Alva mencecar Awan.
“Lho,
kan tadi aku sudah bilang. Mana aku tahuuu?” lagi-lagi Awan mengelak.
“Huuuu!”
siswa-siswi kelas VI Ceria kembali menyoraki Awan.
Tidak mendapat jawaban memuaskan dari Awan,
satu per satu anak-anak meninggalkannya. Tak berapa lama kemudian, bel masuk
pun berbunyi.
Sepulang
sekolah, anak-anak SD Nusa Bakti masih sibuk membicarakan pengumuman dari Pak
Kades yang disampaikan oleh wali kelas masing-masing. Mereka masih belum
mendapat jawaban yang memuaskan kenapa harus sudah berada di rumah sebelum
pukul tujuh malam. Para guru pun sepertinya masih keberatan untuk menjelaskan
ke murid-murid. Kalaupun ada guru yang mencoba menjawab, alasannya karena di TV
sedang marak penculikan anak sehingga Pak Kades ingin agar anak-anak
berhati-hati.
“Menurut
kalian, apakah Awan mengada-ada soal Delman Merah Jambu itu?” Alva bertanya
pada Randu dan Ilham dalam perjalanan pulang sekolah. Meski jarak rumah mereka
tidak berdekatan tapi Alva sering pulang sekolah bersama-sama dengan Randu dan
Ilham. Di sekolah pun mereka suka bermain bersama-sama.
“Hmm,
sepertinya enggak. Ayahnya Awan kan pengurus desa. Mungkin soal Delman Merah
Jambu itu memang benar,” jelas Randu.
“Tapi,
apa hubungannya Delman Merah Jambu dengan peraturan Pak Kades?” tanya Alva
lagi.
Randu
menggeleng sementara Ilham hanya diam saja.
“Hmm,
Ilham, apa Ayahmu pernah berkata sesuatu soal Delman Merah Jambu?” Alva
bertanya pada Ilham.
Ilham
menggeleng. “Bapak enggak pernah bercerita apapun soal itu di rumah” katanya
pelan.
Melihat
sikap Ilham yang kurang bersemangat membahasnya, Alva tidak bertanya lebih
lanjut. Ia khawatir, Ilham akan tersinggung. Sebenarnya, Ilham juga merasa
tidak enak hati karena bapaknya membuat pengumuman aneh seperti itu. Apalagi
peraturan itu jadi pembicaraan hangat di sekolahnya. Bahkan mungkin, di seluruh
desa!
Alva
dan Randu saling pandang namun tak berkata apa-apa. Sepanjang perjalanan
pulang, mereka sibuk menerka apa kaitan Delman Merah Jambu dengan peraturan baru
dari Pak Kades.
Alhamdulillah... Makasih Mbak Eka :)
BalasHapus