Sabtu, 16 Maret 2013

Kejar Target Boleh, Tapi ...

Sebuah catatan untuk para agen ...


Saya memahami kondisi teman-teman yang bekerja di dunia marketing: dikejar target. Entah itu jadi agen asuransi, agen properti, member sebuah MLM, dan profesi sejenis. Tentu, sebagai teman, saya salut dengan kegigihan mereka dalam mencari nasabah atau anggota baru. Namun, jangan sampai, target yang harus dicapai justru mengorbankan pertemanan.

Beberapa waktu lalu, seorang kawan yang sudah lama tidak menghubungi tiba-tiba mengirim SMS.
Apriiiil ... gue kangen nih. Apa kabar? Ketemuan doong
Haaaii ... Gue baik. Lo gimana? Iyaa, gue juga kangen nih. Yuk yuk ketemuan. 

Kami pun berbalas SMS dan sesuai hari dan jam yang sudah disepakati, kami bertemu di sebuah pusat perbelanjaan. Setelah kami duduk, tanpa basa-basi, teman saya langsung menyampaikan maksud pertemuan kami itu.

Pril, gue sekarang jadi agen asuransi nih. Ni, udah gue buatin hitung-hitungannya buat elo. 

Jujur, seketika wajah ceria saya sedikit berubah. Sebelum berangkat, bahkan saat kami menentukan waktu bertemu, saya sangat senang karena akan bertemu dengan teman lama yang dulu cukup akrab. Saya begitu bahagia ketika dia SMS dan itu menandakan ia masih mengingat saya. Bukankah itu kebahagiaan dari sebuah pertemanan? Tetap diingat, dirindukan, meski sudah tak lama bertemu? Atau, saya yang terlalu melankolis?

Sebetulnya, saya tidak alergi agen asuransi atau MLM yang ingin menawarkan produknya. Banyak agen asuransi yang menghubungi dan saya akan menolak dengan sopan. Saya paham itu adalah pekerjaan mereka! Tapi, yang tidak saya sukai adalah ketika seseorang mengatasnamakan kangen hanya untuk jualan. Buat saya, itu kebohongan dan menganggap teman hanya sekadar target! Apalagi, dulu kami berteman cukup dekat.

Bukankah lebih baik, dia bercerita terus terang bahwa saat ini dia seorang agen asuransi dan berniat untuk menawarkan produknya untuk saya? Bukankah sebagai teman kita akan saling menghargai kebutuhan masing-masing?

Untuk teman-temanku, para agen asuransi, properti, MLM, atau profesi sejenis,
Kejujuran dan keterbukaan adalah hal penting dalam menjaga sebuah hubungan. Andaikan teman saya jujur, saya pasti akan menerimanya dengan antusias dan terbuka. Bahkan mungkin, jika memang membutuhkan, saya akan mengambil produk yang ia tawarkan. Tapi karena saya sudah tak enak hati, saya justru mendengarkannya setengah hati. Sudah pasti, saya tidak mengambilnya.

Teman tentu boleh dijadikan prospek nasabah, tapi di dalamnya ada rasa yang harus dijaga. Jangan sampai, mengejar target, kehangatan sebuah pertemanan akan hilang.

Selamat berjuang mengejar target dengan cara yang elegan.



Rabu, 13 Maret 2013

"Ketika Adik Cemburu"


Tulisan ini pernah dimuat di rubrik "Buah Hati" Republika, Selasa, 15 Januari 2013.
Semoga bermanfaat :)

Ketika Adik Cemburu
Aprilina Prastari

        “Ih, tulisan Kakak jelek!” kata Taman Hati, puteri kami yang kedua, setelah membaca cerita pendek yang ditulis kakaknya, Wafa Auliya. Wafa memang senang menulis. Beberapa kali ia memenangkan lomba menulis dan beberapa karyanya diterbikan dalam bentuk buku.
       Awalnya, saya menganggap itu hanya keisengan Taman Hati. Mereka memang suka saling bercanda dan meledek tapi masih dalam batas-batas wajar. Namun sepertinya saya salah. Ungkapan itu bukan sekadar lelucon tapi tanda ia sedang cemburu. Itu bisa saya rasakan ketika di lain waktu, ia mengungkapkannya dalam bahasa yang berbeda.
      Saat itu, saya khusyuk memantau pengumuman lomba menulis untuk anak. Kurang lebih sebulan sebelum pengumuman itu, Wafa mengirim karyanya untuk diikutsertakan. Ketika melihat nama Wafa masuk dalam dua puluh karya terbaik dan akan dibukukan, spontan saya melonjak gembira. Segera saya kabarkan pada suami dan Wafa yang kebetulan ada di ruang tengah. Kami pun mengucap syukur dan begitu senang. Meski tidak menjadi juara pertama, tapi masuk sebagai salah satu karya terbaik, sudah cukup membanggakan kami. Kami semua senang dan gembira hingga kami lupa, di pojok tempat tidur, Taman Hati hanya diam memerhatikan kami.
      Saya lalu memberi isyarat pada suami agar diam dan tidak menunjukkan kegembiraan berlebihan. Saya dekati dia dan meledaklah tangisnya.
      “Aku enggak hebat kaya Kakak. Kakak sering ikut lomba. Piala Kakak banyak. Pialaku cuma satu,” ia menangis terisak dalam pelukan saya.
      Saya terdiam. Sungguh, saya merasa bersalah.  Bagaimana mungkin saya lupa kalau lomba menulis itu juga diikuti oleh Taman Hati. Mengapa saya hanya fokus mencari nama Wafa dan begitu yakin kalau nama Taman Hati tidak memiliki kesempatan untuk tampil di deretan nama pemenang. Betapa saya tidak adil padanya!
    Memang, sejauh ini saya belum melihat Taman Hati memiliki ketertarikan yang serius pada dunia kepenulisan. Mungkin saya yang belum dapat melihatnya atau memang bukan di bidang itu, kelebihan yang dimilikinya. Di sisi lain, Taman Hati berbeda dengan Wafa yang senang mengikuti banyak kegiatan dan tertantang untuk mengerjakan sesuatu yang baru.
       Taman Hati masih menangis ketika saya memeluknya erat.
       “Ade tau enggak apa yang bikin Ayah dan Bunda bangga sama Ade?” tanya saya akhirnya.
       Ia menggeleng. Air matanya masih menetes tapi tangisnya sudah mereda.
      “Sejak masih di perut Bunda, Ade makannya pinter. Ade juga lucu, selalu bikin Ayah-Bunda ketawa, dan baik sama temen. Makanya temennya Ade banyak, kan?” ucap saya dengan suara tercekat.  
       Ia mengangguk pelan.
    Sungguh, bukan hal yang mudah memiliki dua anak dengan kondisi yang dapat menimbulkan kecemburuan di satu pihak; kakak berprestasi dan adik biasa saja. Tentu kami berusaha semaksimal mungkin menggali potensi puteri kedua kami meski tidak akan memaksakannya untuk selalu tampil menonjol jika memang ia tak nyaman. Namun, sikap cemburunya mengajarkan kami untuk berhati-hati agar tidak terlalu menampakkan kesenangan yang berlebihan ketika Wafa memenangkan lomba tertentu dan menanamkan pada diri Taman Hati bahwa anak yang hebat bukan karena sering memenangkan lomba dan mendapat banyak piala, tapi anak yang selalu berusaha menyenangkan hati orang tuanya, rendah hati, ramah pada siapa saja, seperti yang selama ini ia lakukan.
    “Bunda minta maaf ya, kalo Ade merasa Bunda nggak adil sama Ade. Nanti kalo ada lomba lagi, Ade ikut, ya.”
      Taman mengangguk.
      “Emang Ade mau ikut lomba apa sih?” pancing saya.
      “Lomba mewarnai, menggambar, masak, ... pokoknya semua,” katanya dengan suara terbata-bata.
     Saya tersenyum dan mengangguk. Semoga saya dan suami bisa menggali kehebatan yang sudah Allah titipkan dalam dirinya ....              
               
      Pondok Gede, 22 Desember 2012
      Untuk kedua puteriku yang luar biasa ...



Ini lhoo yang namanya Taman Hati :)