Tulisan ini dimuat di Koran Sindo, Sabtu, 23 Agustus 2014.
Semoga bermanfaat.
Perbincangan yang sedang jadi trending topic saat ini, baik di kantor, warung sayur, maupun sekolah, hampir sama: asisten rumah tangga (ART) atau pengasuh belum atau tidak lagi kembali bekerja!
Bagi ibu bekerja, masalah ini memang memusingkan kepala. Apalagi kalau di rumah anak hanya tinggal dengan pengasuh tanpa ada orang tua atau keluarga lain yang mengawasi. Mau tidak mau, orang tua harus ekstracepat supaya dapat bekerja kembali dengan tenang. Sayangnya, meski pengasuh baru sudah ada, persoalan tidak selesai sampai di sini. Ada tantangan yang (jauh lebih) besar yang harus dihadapi orang tua.
Apalagi jika orang tua terpaksa merekrut meski sebenarnya kurang sreg di hati sehingga mengabaikan syarat-syarat yang sudah orang tua buat dalam merekrut pengasuh baru. “Ya, daripada lama nggak dapat pengasuh, terpaksa deh aku ambil.” “Sebetulnya sih aku cari yang sudah berpengalaman tapi karena nggak ada, ya mau bagaimana lagi. Masa aku mau tambah cuti sih.” Namun, jangan sampai, karena ingin cepat memiliki pengasuh, hak anak jadi terabaikan.
Di dalam buku yang saya tulis, Berdamai dengan Asisten di Rumah (2010), masa-masa penyesuaian antara ibu, anak dan pengasuh biasanya terjadi dalam tiga bulan pertama. Selama waktu tersebut, ibu dapat melihat dan pada akhirnya memutuskan apakah dapat melanjutkan menggunakan jasa pengasuh tersebut atau terpaksa mengganti. Apa saja yang akan ibu dan pengasuh lakukan selama waktu pengenalan tersebut?
Adaptasi Anak dan Pengasuh
Pada saat awal, tidak hanya anak yang perlu menyesuaikan diri dengan pengasuh barunya. Orang tua, khususnya ibu yang palingseringberinteraksidengan pengasuh, dan pengasuh itu sendiri pun perlu penyesuaian. Untuk anak, tidak semua dari mereka mudah menerima seseorang yang baru ia kenal. Apalagi jika anak terlalu dekat dengan pengasuh sebelumnya. Atau, pengasuh baru kurang menunjukkan sikap yang bersahabat.
Misalnya, tidak berusaha mengajak anak bermain atau tidak menunjukkan wajah yang ramah atau sikap yang bersahabat. Hal ini menyebabkan anak merasa kurang nyaman. Nah, jika anak sudah dapat memahami perkataan orang tua, sebaiknya, ketika proses mencari pengasuh baru, anak sudah diberi tahu bahwa akan ada mbak baru yang akan menjaganya selama ibu bekerja.
Jika memungkinkan dan diizinkan oleh divisi HRD tempat ibu bekerja, mintalah tambahan cuti (tanpa dibayar atau mengambil cuti tahun berikutnya) agar ibu dapat menemani anak dengan pengasuh barunya selama beberapa hari. Solusi lain, mengerjakan pekerjaan kantor dari rumah dan mengirimnya via email. Dulu, ketika masih bekerja di advertising agency, saya pernah melakukan cara ini. Tentu, ibu yang paling mengerti bagaimana kondisi kantor dan kebijakan yang ada.
Maka, sebaiknya, rencana-rencana seperti ini sudah dipikirkan jauh-jauh hari. Namun jika ibu benar-benar tidak dapat meninggalkan pekerjaan, setidaknya ada keluarga yang mengawasi anak dengan pengasuh barunya. Untuk pengasuh, meski berpengalaman dalam mengurus anak, tentu perlu waktu untuk mengenal anak yang akan dijaganya.
Idealnya, sebelum mengundurkan diri, pengasuh lama sebaiknya masih ada di rumah ketika pengasuh baru datang sehingga ia dapat belajar langsung dan melihat dulu bagaimana kebiasaan di rumah, terutama yang menyangkut kebiasaan anak. Namun jika tidak dapat dilakukan, ibu juga perlu memberi waktu agar pengasuh baru dapat mengenal anak dengan baik. Jika ibu diizinkan mendapat cuti tambahan, pada hari pertama biarkan pengasuh hanya melihat dulu kebiasaan yang dilakukan anak.
Kegiatan makan, mandi, sebaiknya tetap dilakukan oleh ibu. Hari kedua, ibu sudah bisa memintanya mengajak bermain dengan anak. Hari ketiga, lihat bagaimana reaksi anak. Jika ia terlihat mau berinteraksi dengan pengasuh, ibu dapat meminta pengasuh untuk bergantian menyuapi atau menemaninya makan. Begitu juga dengan mandi. Lalu, bagaimana dengan aturan?
Melihat pendidikan dan usia pengasuh, kita juga perlu pertimbangkan apakah pengasuh dapat cepat menerima pesan dari ibu atau tidak. Jika aturan langsung diterapkan, pengasuh dikhawatirkan akan merasa takut atau kaget. “Duh, aturannya kok banyak, ya? Aku bisa nggak ya mengerjakannya? Kalau anaknya nggak mau nurut gimana?”
Kira-kira seperti itulah perasaan yang dialami pengasuh jika ibu langsung memberi komando dalam jangka waktu cepat. Biarkan pengasuh merasa nyaman mengurus anak lalu pelanpelan beri tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam mengurus anak.
Hindari Melakukan Hal yang Ditakutkan Anak
Menurut ibu, apa yang biasanya ditakutkan anak? Bisa minum obat. Atau, mainan yang bentuknya tidak disukai anak. Maka jangan sampai pengasuh melakukan sesuatu yang tidak disukai anak, apalagi yang dapat membuatnya trauma.
Hal sepele misalnya saat mengeramasi anak. Ada anak yang tidak mau langsung diguyur dengan gayung tapi menggunakan shower. Jika pengasuh mengabaikan, bisa jadi, anak menjadi kesal dan merasa pengasuh tidak mengerti apa yang ia inginkan.
Menjaga Kedekatan Orang Tua dan Anak
Terkait dengan terlalu dekatnya anak dengan pengasuh lama, ini memang harus diantisipasi sejak ibu memilih menjadi ibu bekerja. Ada b a n y a k cara yang dapat ibu lakukan sehingga anak dekat dengan pengasuh namun tidak tergantung. Bukankah pengasuh pada akhirnya akan menikah, punya anak dan belum tentu dapat bekerja kembali? Apa jadinya jika anak mengalami demam, tidak mau makan kalau tidak dengan pengasuhnya?
Apakah ibu tidak nelangsa melihatnya? Untuk itu, tak dapat ditawar lagi, menjaga kedekatan antara orang tua dan anak adalah keharusan. Caranya? Pertama, terapkan bahwa pengasuh hanya membantu ibu ketika ibu tidak ada di rumah untuk bekerja. Artinya, ketika di rumah, ibu dan bapak yang harus mengurus sendiri anak. Kedua, luangkan waktu hanya untuk anak.
Waktu itu bisa digunakan untuk mendongeng, bermain, atau melakukan kegiatan lain yang hanya dilakukan oleh anak dan orang tua tanpa pengasuh. Jadi sebaiknya, saat liburan dan pergi bersama, usahakan tak perlu membawa pengasuh. ibu dan bapak juga bisa menentukan kegiatan apa yang hanya boleh dilakukan oleh ibu dan bapak setiap hari. Misal, setiap pagi, harus ibu yang memandikan anak. Atau, tiap malam sebelum tidur, harus bapak yang mendongeng.
Ketiga, perbanyaklah memegang, mengelus, memeluk dan menyentuhnya. Dr. William Sears dalam bukunya The SuccessfulChild (2006) mengatakan, anak yang sering dipeluk akan memiliki kedekatan dengan orang tuanya. Yang paling penting dari semuanya, banyaklah berdoa agar anak tetap dekat dengan orang tuanya.
Haruskah Dilanjutkan?
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, karena beberapa alasan, tidak semua orang tua pada akhirnya merekrut pengasuh sesuai dengan kriteria. Apa yang sudah dilakukan pengasuh tentu dapat menjadi pertimbangan bagi orang tua apakah akan melanjutkan atau mengganti. Memang, perlu waktu lagi untuk mengganti. Maka kita pun perlu menganalisisnya dengan bijaksana dan kepala dingin.
Tentu, setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan. Tinggal kita lihat sejauh mana kekurangannya. Apakah masih dapat ditolerir dan diperbaiki? Contohnya, jika pengasuh sering lupa melakukan sesuatu yang ibu inginkan, mungkin ini kekurangan yang dapat ditoleransi. Namun, perlu dipertimbangkan diganti, jika pengasuh kedapatan memarahi anak, menggunakan kata-kata kasar hingga memukul.
Hal itu dapat terlihat dari perubahan perilaku anak, anak menunjukkan ketakutan yang berlebihan jika ditinggal atau mengigau sesuatu yang kurang baik tentang pengasuh. Ibu dan bapak tentu memiliki kriteria sendiri dan paling memahami bagaimana pengasuh yang tepat untuk anakanak di rumah.
Yang penting, sebagai ibu bekerja, kita sepatutnya memiliki prioritas dan alasan yang kuat mengapa harus bekerja dan tidak mengorbankan anak-anak demi karier.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar