Minggu, 12 Mei 2013

"Nggak Penting IPK Tinggi Kalau ..."

Sebuah Catatan untuk Teman-teman Mahasiswa
Aprilina Prastari


Banyak yang bilang, saya termasuk orang yang senang belajar. Lulus D3 Broadcasting Universitas Gadjah Mada, saya bekerja sebagai wartawan dan penyiar di radio Ramako (sekarang namanya Lite FM). Meskipun sudah bekerja, tapi keinginan untuk melanjutkan S1, tetap ada. Saya merasa, tidak ada yang sia-sia dengan belajar, mencari ilmu, karena semua akan bermanfaat untuk kita. Pendapat itu masih saya pegang sampai sekarang. Terbukti, meski sudah memiliki dua anak dan salah satunya akan beranjak remaja, saya masih tetap semangat melanjutkan S2 (tapi jangan tanya tesis saya sudah sampai mana ya ... :D)

Namun, setelah bertahun-tahun bekerja di dunia komunikasi, saya menyadari satu kesalahan (tentu dari sekian banyak kesalahan yang saya lakukan) ketika saya kuliah di UGM dulu. Saya terlalu fokus belajar!

Lho, kok, fokus belajar memang salah?

Nggak, sih.

Alhamdulillah, saat saya lulus, saya termasuk lulusan terbaik untuk jurusan Broadcasting pada saat itu. Buat saya, itu membahagiakan. Namun, saya juga merasa gemas karena hanya ikut unit kegiatan mahasiswa BPPM (Badan Penerbitan Pers Mahasiswa) UGM. Itu pun nggak terlalu aktif. Pernah sih mengajar di Kopma UGM, tapi menurut saya, itu kurang banyak!

Menurut saya, mahasiswa itu harus aktif berkegiatan, banyak cari teman, bergaul. Networking! Itu yang penting. Makanya, saya sering bilang sama mahasiswa saya, kuliah itu jangan cuma mengandalkan IPK. Kalau buat saya, IPK cukup 3,00 tapi banyak kegiatan, aktif di komunitas-komunitas, dan bermanfaat buat orang lain.

Apalagi kalau masih muda dan bisa punya usaha sendiri. Duuuuh, keren banget! Jujur saya ngiri sama temen-temen yang masih muda dan sudah berbisnis atau berkarya dan menghasilkan uang. Keren!

Nah, untuk teman-teman yang masih mahasiswa (khususnya mahasiswa D3 atau S1), jangan cuma mengejar IPK tinggi, ya. Gunakan social media untuk berkenalan dengan orang-orang hebat dan melakukan hal-hal bermanfaat. Ketika lulus, kondisi yang bisa membuat teman-teman bertahan adalah keterampilan, kreativitas, dan jaringan.

Selamat belajar, berkarya dan berjaringan :)




Minggu, 05 Mei 2013

Toilet Duduk, Lebih Tepat untuk Tempat Umum

Beberapa menit lalu saya membaca berita ini:


Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih jika kereta api memerhatikan kebersihan toilet perempuan. Namun, saya melihat toilet-toilet di tempat umum, apalagi di kereta api, sebaiknya menggunakan toilet jongkok. 

Alasan pertama, pengguna kereta api pasti sangat banyak dan beragam. Di mal-mal bagus seperti Kota Kasablankan atau Sency yang kebersihannya selalu dicek saja, kita masih merasa khawatir dan kerap membersihkan penutup dudukan toiletnya dengan cairan khusus. 

Alasan kedua, seberapa sering petugas membersihkan toilet ini. Dengan melihat banyaknya penumpang atau pengunjung (kalau di mal atau tempat umum lain), petugas kebersihan tidak banyak, dan bilik kamar mandinya juga sedikit, apa mungkin akan sering dibersihkan? Awalnya sih memang terlihat bersih, tapi coba kalau sudah berjalan beberapa bulan.  Bahkan di beberapa tempat, seringkali saya melihat penutup dudukan toilet dipenuhi dengan tapak sepatu yang sudah pasti sangat kotor. 

Menanggapi pernyataan Pak DI, menurut saya, alasan digunakan toilet duduk karena perempuan yang memakai celana jeans supaya tidak kesulitan, rasanya kurang tepat, ya. Meskipun memang, toilet duduk memudahkan orang tua untuk buang air. 

Nah, kalau begitu, bagaimana kalau toiletnya dibuat dua; untuk orang tua dibuatkan toilet duduk dan satu lagi toilet jongkok. Hehehe ...

Tulisan ini juga sekaligus mengapresiasi para pembersih toilet, pengelola mal atau tempat-tempat umum yang sudah berbaik hati menjaga kebersihan toilet. Dan tolong, untuk sahabat-sahabatku para wanita, jika kita merasa toilet itu kurang bersih, jangan menaikkan sepatu ke atas dudukan toilet. Jangan pentingkan kebersihan diri kita sendiri lalu mengorbankan kebersihan orang lain. Setuju? :)



Sabtu, 04 Mei 2013

Masih SMP Kok Nyetir?

Bukan sekali-dua kali saya lihat anak SMP, nyetir motor, ngebut, nggak pakai helm. Dan, saya yakin, belum punya SIM. Buat saya yang emak-emak ini, melihat pemandangan seperti ini, bikin ngilu. Bermacam pertanyaan timbul di kepala saya:

Ibunya tau nggak ya kalo anaknya nyetir motor sendiri?
Kalo belum tau, kasian banget. Tapi kalo tau, kenapa ya ibunya kasih izin? Kalo cuma di dalam perumahan sih nggak apa-apa deh. Nah ini, di jalan raya!
Atau jangan-jangan, kalo nggak dibolehin, anaknya ngambek!

Kalau sudah begitu, saya langsung membayangkan anak-anak kami saat  remaja nanti. Kalau Wafa dan Taman Hati remaja, apa memaksa kami untuk dibolehin naik motor, nggak, ya?

Memang, salah satu penyebab konflik antara anak remaja dan orang tua, salah satunya ya karena motor atau kendaraan. Hal ini pun pernah saya tulis di buku saya, "Please deh, Mom- Solusi Konflik Anak Remaja dan Orang Tua". Di satu sisi, sang ibu belum bisa mengizinkan anaknya nyetir motor sendiri (karena belum punya SIM, takut kebut-kebutan di jalan, khawatir kecelakaan) sementara dari sisi anak, mereka merasa ibunya terlalu parno, mengekang kebebasan, dan sebagainya. Komunikasi dari hati ke hati dan tarik ulur, diharapkan bisa menjadi solusi mengurangi ketegangan diantara dua pihak.

Jujur, sebagai ibu dengan seorang puteri yang sebentar lagi insya Allah beranjak remaja, ada kondisi-kondisi yang sudah saya dan suami bicarakan ke Wafa sejak sekarang. Salah satunya soal naik motor. Pertanyaan seperti "kalau aku SMP, boleh nggak naik motor" pernah Wafa lontarkan melihat beberapa tetangga yang SMP ada yang naik motor kalau sekolah atau les.

Kami juga sering cerita apa yang kami lihat tentang remaja yang ugal-ugalan di jalan. Seperti yang pernah saya saksikan beberapa malam yang lalu. Ada TIGA gadis remaja berboncengan, tidak pakai helm, dan pengemudinya menyetir sambil ... telpon! Luar biasa, kan? Saya sempat menegurnya. Saya mengimbangi motornya dan bilang "Dek, jangan sambil telpon. Bahaya." Dan jawaban remaja itu, sangat luar biasa. "Trus, masalah buat lo?"

Astaghfirulloh. Cuma bisa geleng-geleng dan kembali pertanyaan-pertanyaan di atas tadi muncul di kepala saya.

Adik-adikku sayang, ....

Percaya deh, pasti ada alasan kenapa orang tua meminta kita untuk  nyetir motor dan mobil sendiri setelah kita kuliah atau sesudah punya SIM. Menurut saya, usia remaja itu masih mudah terpancing emosi. Ada motor atau mobilnya nyalip, nggak terima, terus balas salip lagi. Atau, pengin buru-buru sehingga ngebut.

Masalahnya, kalau  ugal-ugalan di jalan, kamu bukan hanya membahayakan diri sendiri, tapi juga orang lain. Dan kalau kamu sudah membahayakan orang lain, trauma itu akan sulit sembuhnya. Dan, bukan nggak mungkin kamu bisa menghilangkan nyawa orang lain karena kecerobohanmu. Kalau sudah begitu, yang ada hanya penyesalan ...

Bukan Karena Murah, Lantas Tak Dihargai, Kan?

Meski rumah tinggal kami bukan di perumahan keren, tapi Alhamdulillah, dekat dengan sekolah Islam yang menurut kami bagus dan Lembaga Tahfidz Qur'an (LTQ). Buat kami sekeluarga, ini adalah rizqi yang luar biasa. Kami sangat dimudahkan agar anak-anak bisa membaca Qur'an dengan baik dan menghafalnya.

Di LTQ ini, kami memasukkan Wafa dan Taman Hati di kelas tahfidz Qur'an. Alhamdulillah, Taman sekarang sudah hampir menyelesaikan hafalan juz 30  dan Wafa sudah mulai masuk hafalan juz 28. Ibunya? Plis, jangan tanya, ya :(

Meski mengajarkan ilmu yang manfaatnya sangat besar, LTQ Iqro ini hanya mematok biaya SPP yang sangat murah: hanya Rp 25.000 per bulan. Ya, hanya Rp 25.000. Ini untuk kelas anak-anak. Untuk dewasa memang lebih mahal tapi masih sangat terjangkau. Seminggu, masuk tiga kali yang boleh dipilih waktunya sesuai dengan kesibukan murid.

Nah, karena banyak ekskul, dan Wafa mengeluh capek, akhirnya sudah satu semeter ini, Wafa cuti. Selain, karena di sekolah, juga diajarkan tahfidz Qur'an. Sedangkan Taman Hati masih lanjut LTQ.

Cuma, sejak Wafa cuti LTQ, dan beberapa tetangga yang biasa berangkat sama-sama pindah rumah, Taman mulai malas masuk LTQ. Selama ini sih, Taman (dan dulu Wafa juga begitu), boleh tidak mengaji dengan beberapa kondisi: (1) sakit atau capek (2) ada tugas untuk besok atau mau ulangan (3) hujan. Di luar alasan itu, biasanya saya minta anak-anak untuk mengaji, paling tidak seminggu dua kali.

Hingga kira-kira beberapa minggu lalu, Taman benar-benar susah sekali diminta mengaji. Alasannya, "X (tetangga dekat rumah yang biasa berangkat sama-sama) juga nggak ngaji, Bun. Aku mau main aja, ya"

Melihat kondisi ini, saya coba ngobrol sama Taman. Saya coba gali apakah ada yang kurang nyaman di tempat les sehingga dia jadi kurang semangat LTQ. Jawabnya ya itu tadi. Temannya ada yang nggak LTQ dan mengajak main. Hehehe. Saya coba tawarkan untuk berhenti saja (dari pada keseringan nggak masuk) tapi dia menolak.  Nah, bingung, kan? Akhirnya saya bilang begini sama Taman:

"Ade, tau nggak apa yang bikin bu guru seneng?"
"Hmm, apa ya? hehehe ... " (eeeh ni anak malah nyengir lagi :D)
"Bu guru seneng kalo murid-muridnya semangat dateng ngaji, Dek"
"Tapi X ajah sama uminya nggak apa-apa nggak LTQ. Soalnya katanya bayarnya murah" (beeeuh ni anak)
"Ade, bayar murah bukan berarti kita jadi males-malesan. Coba Ade bayangin. Minggu kemaren waktu ujan, ternyata bu guru tetep dateng, kan? Ade nggak kasian bu guru udah capek-capek dateng, trus muridnya sedikit? Sedih nggak kira-kira bu guru? Kan kita udah sepakat, Ade boleh nggak LTQ kalo ... (saya sebutin lagi perjanjian yang pernah saya dan Taman sepakati)"

Taman diam. (hayo mau debat Nun apalagi :D)

Akhirnya, dia janji mau semangat LTQ lagi kecuali jika ketiga hal tadi terjadi.
Alhamdulillah, sekarang, sudah lumayan semangat lagi. Cuma tetep aja sih, masih harus diingetin, apalagi kalau sudah asyik main sama teman-temannya. Hehehe ...

Soal kurangnya antusiasme belajar kalau pelatihannya murah juga rasanya bukan dilakukan anak-anak, ya. Kita yang dewasa juga suka begitu. Termasuk saya. Kadang, kalau ikut pelatihan murah, pasti ada perasaan "Ah, santai aja. Murah ini, ..." Padahal, untuk yang mengajar, tentu bukan soal uangnya tapi antusiasme kita dalam mengikuti pelatihan yang diberikan.

Semoga kita lebih bisa menghargai setiap ilmu dan pengetahun yang diberikan oleh siapapun dan di mana pun, meskipun dengan harga yang murah.