Sabtu, 21 Desember 2013

Komunikasi dalam Pengasuhan Anak

Beberapa waktu lalu, saya diundang menjadi pembicara di sebuah TK, di Bekasi. Mencoba menggabungkan antara ilmu komunikasi yang selama ini saya pelajari dan pengasuhan anak, saya membahas tentang "Komunikasi dalam Pengasuhan Anak". Ada beberapa prinsip dasar yang bisa kita terapkan agar komunikasi antara orangtua dan anak, bisa berjalan dengan baik.

Prinsip pertama

Anak akan percaya pada orangtua jika orangtua bisa menjadikan dirinya sebagai orangtua yang bisa dipercaya.
Contoh: ketika seorang ayah berjanji ingin pulang sore, harus ditepati. Kalau ia sering melanggar bisa jadi anak akan kehilangan kepercayaan.

Prinsip kedua

Ketika kita mengajak anak bicara, pesan yang harus disampaikan sebaiknya tunggal. Jangan kebanyakan sehingga anak tidak bingung.
Ini juga bisa diaplikasikan untuk program-program untuk anak. Misal, program buang sampah pada tempatnya. Fokus di program itu jika sudah berjalan baik lalu melangkah ke program berikutnya.

Prinsip ketiga
Konsisten dan diulang
Sesuatu yang kerap dilakukan akan diingat oleh anak.

Contoh :
Soal jajan. Terkait dengan jajan, akan saya bahas di postingan selanjutnya :) 

Prinsip keempat
Pesan yang disampaikan orang tua bisa sampai ke anak ketika mereka dalam keadaan rileks. Terlebih jika kita melakukannya dengan sentuhan. 

Prinsip kelima
Peka dan melihat bahasa tubuh yang disampaikan anak. Komunikasi tidak hanya dilakukan oleh kata-kata tetapi bisa dengan bahasa tubuh seperti tatapan mata, ekspresi wajah dan sebagainya.  

Prinsip keenam
Komunikasi harus berjalan dua arah. Tidak hanya dari orangtua ke anak, tapi juga anak ke orangtua. Biarkan mereka mengekspresikan kekesalannya, unek-uneknya, tentang kita.
Bagaimanapun, orangtua adalah juga manusia, yang tak luput dari kesalahan.

Selamat Hari Ibu. Semoga Allah memberikan kita kesabaran dalam mengasuh anak-anak kita.

Salam hangat,
Aprilina Prastari
Penulis buku keluarga dan komunikasi

Selasa, 17 Desember 2013

77 Kesalahan Orangtua yang Membahayakan Kesehatan dan Keselamatan Anak

Ada kesalahan-- yang kelihatannya sepele tapi bisa berakibat fatal-- yang saya lakukan ketika puteri saya Wafa masih berusia 3 hari. Hari itu, sepulang dari rumah sakit, mertua saya menjenguk ke rumah. Beliau lalu berinsiatif ingin memandikan Wafa. Saya tentu sangat antusias membantu. Saya siapkan alas untuk mandi, sabun, dan tak lupa air panas dalam bak mandinya. Tadinya, saya mau langsung menambahkan air dingin ke dalam baknya, tapi urung. Saya pikir, ah nanti saja kalau mau dibilas, supaya tetap hangat.

Saya pun melihat mertua saya memandikan Wafa sambil mengamati wajah mungilnya. Dan ketika hendak dibilas. "Lho kok airnya masih panas" kata mertua saya, hampir saja ingin mencelupkan badan Wafa ke dalam air.

"Astaghfirulloh!" saya berteriak kaget. Segera saya tuang air dingin dan ... lemas! Tak bisa dibayangkan bagaimana jika mertua langsung memasukkan Wafa ke dalam bak mandi. Alhamdulillah, Allah Maha Melindungi. Sejak itu, saya tak pernah menunda memasukkan air dingin ke air panas, hanya mengatur suhunya agar saat dibilas, airnya tetap hangat.

Itu, hanya satu kesalahan kecil yang bisa membahayakan orangtua. Tentu masih banyak kesalahan-kesalahan kecil lain, yang tak hanya dilakukan saya, namun juga orangtua lain terhadap anaknya. Kesalahan, yang kelihatannya sepele tapi bisa berakibat fatal.

Apa saja, 76 kesalahan yang lain?
Selengkapnya dapat dibaca di buku terbaru saya: "Sepele tapi Penting" -- 77 Kesalahan Orangtua yang Membahayakan Kesehatan dan Keselamatan Anak". Selain cerita pengalaman dari orangtua, saya pun mewawancarai dokter, apoteker (soal obat) agar buku ini lebih kaya.

Semoga kita, bisa menjadi orangtua yang senang belajar, salah satunya dengan membaca

Salam
Aprilina Prastari
Penulis buku Keluarga dan Komunikasi


Senin, 16 Desember 2013

Jadi Copywriter, Haruskah Selalu Lembur?

Saya tidak mengenal Mita Diran, copywriter yang meninggal dunia  setelah 30 jam bekerja tanpa henti. Namun, sebagai mantan fulltime copywriter, saya merasa ikut berduka dan mendoakan semoga ia mendapat tempat terbaik di sisi-Nya.

Meninggalnya Mita membuat beberapa kawan bertanya kepada saya. Apakah begitu melelahkannya bekerja di ad agency? Kenapa sampai tidak ada waktu untuk istirahat? Seperti apa kerja copywriter?

Selama kurang lebih delapan tahun, saya bekerja di ad agency. Tak selamanya ad agency tempat saya bekerja selalu menuntut lembur. Ada juga ad agency yang mengharuskan lembur  ketika ada pitching atau deadline yang mendesak. Selebihnya, kami bisa pulang selepas Maghrib.

Namun, di beberapa agency besar dan harus menangani klien yang aktif, lembur memang menjadi makanan sehari-hari. Terlebih ketika harus menangani klien telco. Hampir setiap malam saya pulang di atas pukul 22.00. Seminggu sekali,  pulang bareng maling alias pukul 02.00 dan esoknya eh paginya, harus sampai di kantor lagi pukul 08.30. Kalau telat, potong uang makan. Sedihnya!

Mungkin ada yang bertanya, apa saja yang kami lakukan sehingga harus sering lembur?
Bekerja di ad agency adalah pekerjaan tim. Meski seorang copywriter sudah menyelesaikan tugasnya untuk urusan copy (naskah iklan) tapi bukan berarti pekerjaannya selesai. Ia masih harus berdiskusi lagi dengan pasangannya—art director—presentasi ke creative director-nya. Jika masih ada yang kurang, ya harus direvisi lagi. Belum lagi kalau harus menghadapi deadline yang extra super cepat.

Oh ya, meskipun namanya copywriter, tapi dia juga bukan hanya mengurusi naskah iklan saja, ya. Jadi kalau bertemu dengan iklan yang hanya ada tagline, bukan berarti copywriternya nggak kerja, lho. Karena seorang copywriter juga harus mengonsep hingga akhirnya, iklan itu siap tayang. Artinya, sebelum jadi, ya harus didampingi terus. Kalau buat TVC (TV Commercials), misalnya, seorang copywriter harus ikut sampai editing selesai. Jadi, iklan TV yang 30 detik itu, prosesnya panjang, lho!

Apakah Harus Lembur?

Mungkin tidak, kalau manajemen di agency itu lebih rapi. Seringkali, kita sudah datang pagi, tapi rekan kerja kita datang siang. Mending kalau langsung kerja, karena biasanya ‘pemanasannya’ agak lama. Kadang, mulai benar-benar kerja sesudah makan siang.  Mau tak mau kita harus bisa menyesuaikan diri karena lagi-lagi kerja di ad agency adalah kerja tim.

Hal lain, jika agency melalui bagian traffic-nya bisa tegas mengatur deadline dan memberikan waktu untuk seluruh tim untuk tidak selalu lembur.  Tentu ini membutuhkan pengaturan SDM dan negosiasi ke klien dengan baik.

Asap Rokok yang Menggangggu

Ini agak OOT dari soal lembur, ya. Tapi saya perlu menyampaikan unek-unek saya soal rokok! Untuk saya yang bukan perokok, bekerja di ruangan penuh dengan asap rokok, sungguh menyiksa. Beberapa teman bilang, maaf ya, Pril, nggak enak kalau nggak ngerokok. Idenya nggak keluar! Untunglah saya tak perlu berlama-lama bekerja di agency yang sangat tidak ramah pada orang yang mau sehat itu.

***

Begitulah. Penuh perjuangan untuk bekerja di ad agency. Dan saya selalu bilang kepada mahasiswa-mahasiswa saya untuk siap menghadapi tantangan-tantangan tersebut.

Namun bagi saya, sekeras-kerasnya kita bekerja, selalu ada tujuan, untuk apa kita bekerja. Melihat anak-anak yang sudah semakin besar dan hal lain, awal 2009, saya memutusakan untuk tidak lagi bekerja di ad agency.

Saat ini saya memilih bekerja mandiri. And u know what, banyak hal yang bisa saya lakukan sesudah itu; saya bisa melanjutkan S2, bisa menulis buku, mengajar, menjadi konsultan, dan pastinya, bisa mengatur waktu kapan harus bekerja dan kapan untuk anak-anak.

Meski saya akui, begitu banyak pengalaman, pengetahun,  dan pelajaran yang saya dapatkan selama bekerja di ad agency.

Untuk sahabat-sahabat saya yang masih bekerja di ad agency, terutama ibu, semoga Allah menguatkan kalian J

Salam
Aprilina Prastari

Penulis buku “Seru (nggak)nya Jadi Copywriter”

Rabu, 04 Desember 2013

Survey DNPI: 90% Masyarakat Memilih Pemimpin yang Berkomitmen Terhadap Perubahan Iklim

Hasil dari survey yang dilakukan terhadap 1137 respoden tersebut memperlihatkan bahwa pengetahuan masyarakat terhadap pemanasan global dan perubahan iklim baru sekitar 57%. Bahkan masih ada responden yang beranggapan bahwa perubahan iklim terkait dengan gedung berkaca. Mungkin, kata-kata efek rumah kaca diterjemahkan sebagai gedung berkaca.
Hal menarik lain yang saya cermati dari workshop ini adalah hasil dari dialog interaktif yang memberi gambaran masih kurangnya kesadaran pelajar untuk berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim.
Saya memang belum banyak mengamati program-program DNPI untuk remaja tapi bisa jadi, kurangnya sosialisasi menjadi salah satu penyebabnya. Dilihat dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan remaja, sosialisasi untuk mereka memang tidak bisa dilakukan dengan PSA, terlebih hanya sekadar slogan. Namun, kegiatan yang memungkinkan mereka  terlibat langsung kemudian mempromosikan apa yang sudah mereka lakukan di social media.   Misalnya dengan mengadakan sebuah kompetisi, yang hasil kerja mereka bisa diupload di Youtube, kemudian mereka share melalui FB, Twitter dan media sosial lainnya. Atau, bisa juga dengan mengundang mereka untuk menulis di blog masing-masing.

Terakhir, ada satu hal penting yang perlu menjadi catatan untuk mereka yang berniat mencalonkan diri di 2014 nanti. Menurut survey ini, keinginanan masyarakat untuk memilih pemimpin masa depan yang peduli dan berkomitmen terhadap perubahan iklim sangat tinggi, yakni sekitar 90%. Nah, siapa kira-kira calon pemimpin yang peduli dengan perubahan iklim ya?

Jumat, 01 November 2013

Nikah Muda Nggak Bikin Mati Gaya


           Jadi seseorang yang beranjak dewasa, memang banyak godaannya, ya. Mau nggak pacaran, tapi diolok teman-teman. Mau pacaran, duh, kok si dia maunya ‘macam-macam’ ya. Nyeremin, deh.
            Hmm, gimana kalau nikah di usia muda? Kamu bisa punya pasangan yang halal sekaligus berkarya. Tapiii, muda nggak asal muda. Untuk jadi pasangan menikah muda yang nantinya tetap berkarya, ada syarat-syaratnya. Kamu juga harus menyiapkan diri baik-baik agar pernikahanmu tetap sehat hingga tua.
         Mau tahu seperti apa menikah muda yang sehat; yang tidak memberatkan orang tua, yang tidak menghalangi kamu meraih cita-cita, yang membuat kamu jadi suami atau istri yang keren dan orang tua muda yang siap?
            Resepnya ada di buku "Nikah Muda Nggak Bikin Mati Gaya"! Kamu akan diajak melihat kondisi seperti apa yang dikayakan layak untuk menikah, apa saja tantangan dan solusinya, komitmen apa yang perlu disepakati dengan pasangan, bagaimana merencanakan anak, keuangan, pendidikan dan karier.
           Buku ini juga akan mengurai tantangan-tantangan yang akan kamu hadapi di lima tahun pertama pernikahan, tetap berkarya meski sudah menikah, bekerjasama mengasuh anak-anak dan mengatur keuangan keluarga. Kamu juga bisa belajar dari kegagalan dan keberhasilan para orang tua yang menikah muda.

              Selamat membaca!

Salam
Aprilina Prastari dan Miyosi Ariefiansyah

Yang mau ke Gramedia, ini cover bukunya yaaa. Kalau lihat di rak, langsung beli ya :D


Rabu, 09 Oktober 2013

Ubi Ungu Dibuat Minuman? Bisa Kok!

Hari keempat, Rabu, 9 Oktober 2013, Konferensi Anak Indonesia 2013.

Di hari keempat Konfa 2013, para delegasi mengunjungi  Lab M-Brio dan melakukan eksperimen di laboratorium makanan. Setelah itu, mereka akan merumuskan poin-poin deklarasi konferensi, hasil pengamatan dan diskusi selama beberapa hari mengikuti pembekalan. Sementara kami, para pendamping, mengunjungi Rumah Sehat Intiyana di Terogong, Jakarta Selatan.

Di Rumah Sehat Intiyana, kita bisa memesan masakan rumah yang bahan-bahannya dipetik dari kebun sendiri dan dimasak tanpa menggunakan MSG atau bahan-bahan pengawet. Selain itu, ada tempat pijat dan refleksi.

Sambil menikmati jus, Mbak Ayu, pemilik Rumah Sehat Intiyana, kemudian berbagi pengetahun kepada kami salah satu resep minuman sehat yang terbuat dari ubi ungu. Kalau biasanya kita mengolah ubi ungu sebagai bahan makanan (kue, puding, atau sekadar dikukus), sekarang dikreasikan sebagai minuman bubble.

Cara membuatnya mudah. Sekitar 100 gram ubi ungu kukus dilumatkan, setelah halus, campur dengan sekitar 4 sendok tepung kanji. Uleni hingga kalis. Setelah itu, ambil sedikit adonan, pulung, ambil kurang lebih 1 cm lalu bulatkan sehingga membentuk bulatan sangat kecil (seperti bubble yang ada di minuman bubble tea). Sesudah itu, masukkan ke dalam air mendidih dan rebus hingga matang.

Nah, bubble ini bisa menjadi campuran minuman. Bisa dengan jus, atau seperti yang dicontohkan Mbak Ayu kemarin, dibuat menjadi strawberry pearl tea.

Selamat mencoba J

Yuk, Belajar Kyaraben

Hari kedua, 8 Oktober 2013, Konferensi Anak Indonesia 2013.

Hari ini, para delegasi akan bermain sambil belajar di Pasir Mukti, Bogor. Mereka akan belajar membajak sawah, menangkap ikan, menanam padi, meracik makanan dan melakukan kegiatan seru lainnya.  Sementara saya dan pendamping lainnya menuju ke Gedung Kompas Gramedia, tepatnya ke Tabloid Nova, untuk ... belajar kyaraben!Kyaraben berarti seni menghias bento (nasi dalam kotak). Seni ini berasal dari Jepang dan mulai booming di Jakarta, sekitar tujuh tahun lalu.

Sebelum belajar menghias, mentor kami yang cantik, Mbak Pristi, mengajarkan kami memasak tamago atau telur dadar gulung Jepang.  Ternyata, untuk membuat telur dadar yang padat, tidak berlubang dan halus ada caranya, lho. Selain pan berbentuk kotak, jangan banyak menggunakan minyak.

Mbak Pristi mencontohkan, setelah pan diolesi minyak (kalau Mbak Pristi menggunakan minyak semprot) lap kembali pan dengan tisu makan. Lho, kok dilap? Nanti minyaknya hilang, dong. Jangan kuatir! Menurut Mbak Pristi pan anti lengket bisa menyimpan minyak sehingga nantinya telur tidak berminyak, padat, dan bertekstur lembut.

Cara menggulungnya juga unik. Setelah kurang lebih memasukkan dua sampai tiga centong telur yang sudah dikocok, gulung perlahan dengan sodet khusus pan anti lengket yang kecil. Setelah jadi satu gulungan, biarkan di atas pan. Lalu tambahkan lagi adonan berikutnya. Kalau sudah bisa digulung, gabungkan dengan gulungan sebelumnya. Begitu seterusnya sampai adonan habis.

Kalau tamago mau ditambahkan bahan makanan lain, seperti kornet, sosis, abon, bisa saja. Kalau berbentuk kering, taburkan setelah telur hampir matang. Tapi kalau berbentuk cair (misalnya mau diberikan pewarna makanan), campurkan ke telur yang sudah dikocok.

Nah, setelah tamago jadi, kami pun belajar kyaraben. Saya kebagian menghias nasi supaya berbentuk ayam. Caranya, dengan menggunakan plastik wrap, nasi dikepal-kepal sampai padat dan bulat, lalu gepengkan. Masukkan ke kotak makan yang memiliki tiga sekat (contohnya, seperti yang dimiliki Tupperware). Jangan lupa untuk mengalasinya dengan daun selada. 

Menurut Mbak Pristi, untuk menghias nasi kotak, bahan-bahan yang wajib ada adalah daun selada, wortel, brocoli atau buncis, supaya warnanya cantik. Untuk mata, bisa menggunakan nori. Paruhnya, bisa menggunakan wortel. Jambulnya bisa dikasih potongan sosis goreng. Selebihnya, bisa dikreasikan sendiri. Untuk merekatkan, bisa menggunakan spageti kering. Jangan takut menggunakannya karena nanti akan lunak sendiri.


Peralatan yang digunakan untuk kyaraben sebetulnya tidak banyak. Cuma puncher (untuk membentuk nori) dan cetakan pelastik untuk membentuk sayur yang sudah dikukus (misalnya wortel yang mau dibentuk bunga). Namun, untuk menghasilkan kreasi yang banyak, ibu harus berani mencoba dan berimajinasi J

Selasa, 08 Oktober 2013

Anak Pendek, Mungkin Kekurangan Gizi


Banyak orang tua mengira kalau anak pendek dikarenakan faktor genetik. Sebenarnya, tidak demikian. Memang, faktor genetik juga memengaruhi namun porsinya tidak banyak. Yang paling memengaruhi tinggi badan anak adalah kecukupan gizinya. Jika gizinya baik, meski orang tuanya pendek, anak juga bisa tinggi. Hal tersebut disampaikan DR. Dr. Yustina Arie, M.Sc, SpGK, saat berdiskusi dengan para pendamping delegasi Konferensi Anak Indonesia 2013, di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta (7/10).

Untuk anak usia 10-12 tahun, berat yang ideal sekitar 37 Kg dengan tinggi sekitar 145 Cm, membutuhkan energi sekitar 2050 Kal. Semakin bertambah usia, tinggi dan beratnya pun semakin bertambah. Untuk laki-laki pertumbuhan badan akan berhenti di usia 21 tahun dan untuk perempuan akan berhenti di usia 18 tahun. Oleh sebab itu, untuk mendukung pertumbuhan anak agar optimal, Yustina mengharuskan orang tua agar peduli pada gizi anak, terlebih di seribu hari kehidupannya.

“Kalau ada anak yang tidak suka sayur dan buah, kemungkinan besar, saat usia di atas enam bulan, orang tua tidak mengenalkan sayur dan buah di MP-ASInya,” jelasnya.



BPOM: 44% Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Tidak Memenuhi Syarat

Pada 2010, BPOM melakukan survey terhadap beberapa sekolah di Jabodetabek. Hasilnya,sekitar 44% pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang sebagian besar terdapat di kantin sekolah tidak memenuhi syarat. Hal tersebut disampaikan A.A. Nyoman Mertanegara, Kasubdit Promosi Kemanan Pangan, BPOM, saat membuka Konferensi Anak Indonesia 2013, di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta (7/10).

Padahal, kantin sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman bagi anak untuk membeli makanan. Terlebih menurut survey tersebut, 48% anak-anak mengaku sering atau selalu jajan di sekolah. Hanya 51% yang menjawab kadang-kadang dan 1% mengaku tidak pernah jajan.

Untuk itu, Nyoman meminta pihak sekolah untuk memerhatikan makanan yang dijual, tidak hanya di kantin namun di sekitar sekolah. Ia menjelaskan, beberapa masalah pangan yang perlu diperhatikan oleh orang tua dan guru, adalah pe ggunaan pewarna tekstil pada jajanan tersebut.

“Kalau makanan berwarna terlalu terang, ini bisa jadi menggunakan pewarna tekstil. Jangan dimakan,” jelasnya.

Selain pewarna tekstil, anak-anak juga perlu mewaspadai benda-benda asing yang ada di makanan, misalnya, staples dan rambut. Jika menemukan rambut di dalam makanan, tidak hanya rambutnya saja yang perlu dibuang, tapi seluruh makanan tersebut juga harus dibuang.

Sekolah Harus Peduli

Dalam sesi diskusi dengan pendamping delegasi Konfa 2013, Nyoman juga meminta pihak sekolah untuk lebih tegas pada pedagang yang menjual makanan di sekitar lingkungan sekolah.
“Kepala sekolah bisa meminta bantuan dari dinas kesehatan untuk mendata pedagang-pedagang yang berjualan di luar sekolah,” katanya.  

Tips Makan Sehat dari BPOM:
Untuk makanan dalam kemasan:
  • Cek label di kemasan. Beli produk yang sudah mendaftar di BPOM. Untuk makanan dalam negeri, dengan kode MD, sedangkan untuk makanan luar negeri dengan kode ML diikuti 12 nomor di belakangnya.
  • Cek tanggal kadaluarsa
Untuk makanan yang dimasak:
  • Lihat warna dan fisiknya
  • Untuk masakan yang mengandung DUIT (daging, unggas, dan telur), jika sudah dimasak lebih dari dua jam, harus dihangatkan lagi.
  • Untuk sayur, masak jika ingin dikonsumsi.

Jika ada yang ingin menyampaikan saran, keluhan dan pertanyaan, dapat mengirimkan email ke:

bpom_jakarta@pom.go.id (Khusus BPOM Jakarta)

Senin, 07 Oktober 2013

Konfa 2013: Makanan Sehat Untukku

Hari Pertama. Konferensi Anak Indonesia 2013. 6 Oktober 2013.

Selamat datang di Konferensi Anak Indonesia 2013!!

Alhamdulillah, dari sekitar 2560 tulisan yang masuk ke redaksi Majalah Bobo, tulisan puteriku, Wafa Auliya Insan Gaib, lolos seleksi. Artinya, Wafa berhak untuk mengikuti Konferensi Anak Indonesia 2013. Yeaay! (Selengkapnya tentang Konferensi Anak Indonesia 2013, bisa dibca di http://bobo.kidnesia.com/Bobo/Info-Bobo/Pembukaan-Konferensi-Anak-2013)

Sesuai dengan tema Konfa 2013, tentang Makanan Sehat Untukku, Wafa dan 35 delegasi lainnya diminta untuk membawa makanan daerah masing-masing. Berhubung Wafa mewakili Bekasi, Jawa Barat, maka ia membawa Pecak Bandeng dan Kue Kembang Goyang.

Minggu pagi, sebelum berangkat, Wafa dan Eyang sibuk membuat Pecak Bandeng (Tuh, kan jadi ketahuan kalau bukan saya yang memasak Pecak Bandengnya hehehe). Setelah semua rapi, kami berangkat ke tempat Wafa dan seluruh delegasi menginap selama Konfa 2013.

Setibanya di sana, sebagian delegasi sudah hadir. Ada yang dari Papua, Banjarnegara, Solo, dan teman-teman dari Jabodetabek. Sebagian lagi, masih dijemput dari bandara.  Makanan daerah yang mereka bawa, buanyak banget, lho. Apalagi delegasi dari Toraja.

“Saya sengaja diminta Pak Bupati untuk membawa banyak makanan daerah supaya orang Jakarta tahu makanan khas kami,” kata pendamping dari Toraja.

Wah, rupanya, delegasi dari daerah, didukung penuh oleh para bupatinya, lho. Bahkan delegasi dari Bojonegoro, mendapat beasiswa dari bupati karena berhasil mengikuti Konfa 2013!

Para delegasi yang sudah datang lalu diminta berfoto dengan makanan khas dari daerah mereka dan mempersiapkan diri untuk mengikuti latihan untuk acara pembukaan besok. Sementara saya dan para pendamping lainnya, berangkat menuju Hotel Amaris. Ya, meskipun kami pendamping, tapi para delegasi tidak boleh ditemani.

“Supaya anak belajar mandiri,” begitu kata kakak panitia.

Oke deh, selamat berkonferensi, anak-anak Indonesia.

Minggu, 15 September 2013

Tetap Berjuang Hingga Detik Deadline Terakhir

                 Biasanya saya selalu mencatat semua jadwal di kalender; deadline naskah, pekerjaan, meeting,  termasuk jadwal kegiatan anak-anak; ulangan, kegiatan khusus di sekolah, dan khusus Wafa, deadline tulisan untu lomba atau naskah yang harus dikirim ke penerbit. 
                Tapi, entah kenapa, saya lupa mencatat di kalender hari terakhir pengumpulan naskah yang akan diseleksi untuk mengikuti Konferensi Anak Indonesia 2013. Di hari terakhir pengumpulan naskah, Wafa tiba-tiba mengingatkan saya!
                “Nun, sekarang kan hari terakhir ngirimin naskah untuk konferensi anak?”
           saya lalu mengecek pengumuman yang kurang lebih sebulan lalu kami gunting dari harian Kompas.
                “Wah, iya, Kak. Maaf ya, Unun lupa kasih tanggal di kalender,”
                “Aku udah buat kok tulisannya,” Wafa langsung mengambil laptopnya.
                Ok, mumpung masih pagi, tulisan bisa segera diprint, ke sekolah minta tanda tangan dan cap sekolah …
                Sekolah …
                Aduh, anak-anak kan sudah libur sekolah. Jangan-jangan sekolah juga sudah libur! Saya mulai nggak tega melihat Wafa yang mulai mencari file naskah. Namun, mengingat ini hari pertama anak-anak libur, kemungkinan sekolah belum libur.
                Saya baru saja ingin menghubungi sekolah, ketika Wafa memanggil saya dengan suara agak panik.
                “Nuuun, file-nya kok nggak ada?”
                “Kakak simpen di folder apa waktu itu?”
                “Di folder yang buat lomba,”
                “Coba dicari lagi lebih teliti.”
Kami mencari lagi di setiap folder tapi nihil.
“Nggak ada, Nun. Jangan-jangan lupa aku simpen,“ Wafa mulai sedih.
Pheew. 
“Kalau Kakak ikhlasin aja, gimana?” usul saya mengingat hari itu hari terakhir pengumpulan naskah. Kalaupun file-nya ada dan sekolah belum libur, naskah itu harus diantar sendiri ke Majalah Bobo, sementara hari itu hari kerja…
“Aku bisa ketik ulang, kok. Aku masih inget apa yang aku tulis,” kata Wafa memelas.
“Ayah bisa anter?”
“Yaa, demi anak…” kata suami saya, sok cool. Ih!
“Ok, kalau sekolah belum libur, Kakak masih bisa ikut. Tapi kalau udah libur, Kakak ikhlasin aja, ya. “
Saya lalu menghubungi Wakasek. Dan, …
“Kak, sekolah belum libur. Kakak fokus selesain tulisannya, ya. Sejam bisa?”
“Bisa!” kata Wafa yakin.
“Kakak udah ketularan virus Be BOP Unun,” kata suami saya.
Alhamdulillah, hari itu, naskah dan berkas yang diperlukan berhasil sampai di Majalah Bobo dengan selamat. Dan ketika minggu lalu Majalah Bobo menghubungi dan mengabari kalau Wafa terpilih sebagai delegasi untuk mengikuti Konferensi Anak Indonesia, saya cuma bisa bilang, Alhamdulillah. Tetap semangat hingga detik deadline terakhir. Kalau bukan Wafa yang yakin dan ngotot mau ikut, kalau suami tidak bisa mengantar, kalau sekolah tidak mendukung, Wafa tidak mungkin bisa ikut.

Be BOP: Believe. Optimist. Positive. J
 

Kamis, 22 Agustus 2013

Bingung di 5 Halaman Pertama? Check Your Outline


                Sebagai penulis non fiksi, saya selalu membuat outline terlebih dulu, sebelum memulai menulis. Outline itu adalah rancangan yang akan membantu kita untuk menyusun kata demi kata, kalimat demi kalimat dan akhirnya bab demi bab.
                Di dalam outline tersebut, biasanya saya awali dengan memberikan deskripsi seperti apa sih calon buku saya itu.; siapa pembacanya, bagaimana cara saya berbicara dengan pembaca melalui tulisan, dan sebagainya.
                Melalui outline saya juga memberi gambaran apa yang akan saya ceritakan dalam setiap bab, siapa nara sumber yang akan saya wawancarai, buku apa yang akan menjadi referensi, dan sebagainya.
                Semakin kuat sebuah outline, semakin mudah kita mengembangkan calon naskah kita. Jika saat kita mulai ingin menulis naskah dan kita mengalami kesulitan di lima halaman pertama, cobalah mengecek kembali outline yang sudah kita buat:
  1. Apakah kita sudah memberi gambaran seperti apa naskah tersebut?
  2. Sudahkah jelas, siapa pembaca kita? Psikografi, demografinya? Jika pembaca yang ingin kita tuju jelas, ini akan berpengaruh dengan bagaimana cara kita menyampaikannya; apakah santai? Serius? Atau, terkait dengan panggilan kepada pembaca.
  3. Bagaimana memulai bab-nya? Dengan menggunakan ilustrasi, pengalaman orang lain, kasus, atau cara lain?
  4. Rincian bab per bab. Apa yang akan dibahas di bab 1, bab 2, dan selanjutnya.


Nah, kalau outline sudah detil, kuat, Insya Allah kita bisa lancar menulis J

Selasa, 23 Juli 2013

Tipe Parenting Apakah yang Kita Terapkan?

Selamat Hari Anak Nasional!

Semoga anak-anak Indonesia menjadi anak-anak yang berkarakter baik, sukses dunia akhirat. Aamiin.

Bicara soal karakter anak, saya percaya hal tersebut sangat dipengaruhi oleh pola asuh orang tuanya—bagaimana orang tua mendidik dan berkomunikasi dengan anak-anaknya. Apa yang dialami anak ketika dewasa, tentu ditentukan oleh bagaimana masa lalunya.

Awal juli lalu saya berkesempatan mengikutkan puteri saya, Taman Hati, untuk ikut tes STIFIn (lebih jelas tentang STIFIn, silakan ditanya ke Eyang Google, ya, hehehe). Tak hanya Taman Hati, saya juga mengikuti mini training yang disampaikan oleh Mas Andhika Harya, trainer dari STIFIn,  dan Mas Reza Adrianto.

Dari sekian banyak materi yang sangat menarik  yang dipresentasikan pada hari itu, saya ingin berbagi tentang  tipe-tipe pola asuh orang tua.

Tipe pertama, adalah tipe orang tua cuek. Orang tua tipe ini, biasanya memiliki responsivitas rendah. Ia tidak begitu memerhatikan kondisi anak, sedang apa anaknya, siapa teman mainnya, bagaimana kondisi anaknya, dan sebagainya. Boleh dibilang, ia tidak memedulikan anak-anaknya. Mereka mau apa saja, terserah. Komunikasi dengan anak pun jarang. Di sisi lain, ia juga tidak menuntut banyak dari anaknya.  Mau dapat nilai bagus syukur, tidak pun ya biar saja. Tipe orang tua seperti ini bisa menjadi bom waktu. Saat mereka kecil, bisa saja belum timbul masalah. Tapi setelah mereka dewasa, anak akan menjauh dari orang tuanya.

Tipe kedua, permisif alias sering membolehkan. Boleh dibilang, tipe ini memiliki responsivitas tinggi.  Anak selalu dilayani, dipenuhi kebutuhannya. Tetapi di sisi lain, tuntutan orang tua terhadap anak rendah. Hal ini mengakibatkan anak menjadi manja.

Tipe ketiga, otoriter. Kebalikan dari permisif, orang tua tipe ini memberi tuntutan terlalu tinggi pada anak, namun tidak melakukan komunikasi dua arah. Kecenderungannya untuk anak perempuan, menjadi tergantung pada orang tua, dan untuk anak laki-laki cenderung menjadi agresif.

Sedangkan yang terakhir, adalah tipe autoritatif. Orang tua tipe ini memiliki responsivitas tinggi namun tuntutan terhadap anak juga tinggi. Mereka menerima dan melibatkan anak-anak, dan tentu melakukan komunikasi dua arah. Meski mendapat tuntutan namun anak melakukannya dengan nyaman dan penuh semangat.

Nah, bagaimana dengan kita? Masuk ke tipe parenting manakah?

Jika kita termasuk tipe autoritatif, SELAMAT! Besar kemungkinan, ketika dewasa, anak memiliki motivasi untuk maju.

Alhamdulillah, setelah mengisi daftar pertanyaan, kami termasuk orang tua autoritatif. Tentu kami harus terus belajar dan memahami kesalaham-kesalahan yang selama ini kami lakukan.

Semoga, kita bisa menjadi orang tua yang menjadi kesayangan anak-anak kita...

(Seputar pola asuh, juga dapat dibaca di buku Pengantar Psikologi, karya Atkinson (1987). 

Rabu, 17 Juli 2013

Travelling, Cara Menyenangkan Ajarkan Anak Cinta Alam


Ada banyak cara yang kami lakukan untuk mengajarkan anak mencintai kebersihan. Salah satunya, tidak membuang sampah sembarangan. Apalagi, saya termasuk orang yang paling gemas kalau melihat orang membuang sampah seenaknya. Lempar bungkusan pelastik dari dalam mobil, buang kemasan minum di selokan sudah sangat sering saya lakukan. Dan, seringkali, saya tegur. Kalau dengan anak-anak, menegur dengan manis, kalau dengan orang dewasa, menegur dengan sadis. Qiqiqi ...  :P :D (ok, back on track)

Nah, hal yang saya lakukan untuk mengajarkan ini adalah mencontohkan ke anak-anak untuk membuang sampah ke tempatnya. Jika di suatu tempat saya tidak menemukan tempat sampah, saya akan membawa sampah tersebut sampai saya menemukan tempat sampah. Sederhana, ya. Tapi butuh proses sampai anak-anak benar-benar terbiasa membuang sampah di tempatnya.  

Suatu kali, puteri saya Wafa pernah melihat saya membawa sampah.
Dia bertanya, “kenapa sampahnya Bunda bawa?”
Saya jawab, “karena nggak ada tempat sampah. Nanti kalau ada tempat sampah, baru Bunda buang.”

Rupanya, ucapan saya itu membekas di benaknya. Beberapa kali saya melihat Wafa membuang sampah di tempatnya, atau membawanya jika ia tidak menemukan tempat sampah.

Cara lain yang menyenangkan untuk mengajarkan anak cinta lingkungan, khususnya kebersihan, adalah mengajaknya travelling.  Seperti yang kami lakukan akhir Juni 2013 lalu, kami mengajak anak-anak berlibur ke Pulau Tidung.

Dua hari sebelum berangkat, Wafa dan Taman Hati, semangat searching di internet tentang Pulau Tidung. Melihat foto-foto laut di sekitar pulau, mereka takjub dan begitu antusias. Maklum, ini kali pertama kami jalan-jalan ke sana. Dari foto-fotonya, memang kelihatan lautnya sangat indah!

Setelah menempuh perjalanan sekitar 2,5 jam dari Muara Angke, kami sampai di Pulau Tidung. Anak-anak sudah tak sabar ingin snorkeling dan main di pantai. Siang itu juga, setelah meletakkan tas, kami berangkat dengan perahu kecil untuk snorkeling.  

Subhanallah. Airnya bening, ikan-ikan cantik berenang mengerubuti kami, dan karang-karang, bisa kami nikmati dengan jelas. Setelah setengah puas snorkeling, kami main ke Pulau Payung. Pulau ini sepi tapi berpenghuni. Sayang, di tepi pantai, banyak sampah. Kembali ke Pulau Tidung, waktu kami main-main di dekat Jembatan Cinta, sampah juga bertebaran di mana-mana! Apalagi di Pulau Tidung Kecil. Dari mulai bungkus mie instant, botol minuman, sampai yang parah, popok sekali pakai juga dengan manis teronggok di tepi pantai.

Saya katakan ke anak-anak, “sekarang lautnya masih cukup bersih. Tapi kalau sampahnya dibiarkan terus, lama-lama airnya juga jadi kotor.”
Esok paginya, kami pun bersama-sama mengumpulkan sampah di tepi pantai dan membuangnya ke tempat sampah.   


Mungkin hanya inilah yang dapat kami lakukan untuk mengajarkan anak-anak kami mencintai kebersihan, tapi kalau setiap orang tua mengajarkan anaknya membuang sampah di tempatnya, insya Allah, Indonesia akan selamanya bersih dan indah. 

*Foto-foto menyusul, ya :D

Jumat, 21 Juni 2013

HRD Seharusnya Menjembatani

Ada seorang janda yang bekerja keras untuk menghidupi 3 anaknya yang masih sekolah. Sebut saja namanya Ibu Lani. Suaminya meninggal 3 bulan lalu. Sang suami adalah seorang driver yang bekerja di sebuah pabrik. Setelah meninggal, hak-haknya sebagai karyawan belum dibayarkan, jamsostek dan pesangon tidak diberikan.

Ibu Lani berinisiatif telpon ke perusahaan bekas suaminya bekerja untuk bertanya soal hak jamsostek dan pesangon. Namun hasilnya dilempar-lempar dan tidak ada yang bertanggungjawab. Perusahaan bilang jamsostek belum dibayarkan karena tidak ada uang akibat dari klien mereka belum membayar ke perusahaan.

Ibu Lani sebenarnya sudah mengurus jamsostek suaminya sendiri, namun pihak Jamsostek mengatakan kalau pembayaran belum bisa dilakukan karena perusahaan tempat suaminya bekerja belum membayar iuran sejak Januari 2013.

Karena kebutuhan yang semakin mendesak, gaji sebagai administrasi keuangan tidak cukup untuk menghidupi 3 anak sementara hutang cicilan suaminya juga harus dibayar. Maka dia memberanikan diri mendatangi perusahaan suaminya untuk menagih dan mendapat keadilan. Apalagi sudah tiga bulan perusahaan belum juga membayarkan hak almarhum suaminya.

Sampai di lokasi, ia bertemu dengan Manager HRD (sebut saja Sonya). Dengan nada ketus dan marah-marah, ia bilang bahwa perusahaan tidak punya uang. Ibu 3 anak ini disuruh menunggu.
Ibu Lani kembali memohon untuk disegerakan atau minimal pihak kantor menalangi dulu karena cicilan hutang mendiang suaminya juga harus dibayar. Tapi ditolak oleh manager HRD ini. Dengan tegas ia mengatakan bahwa sebenarnya urusan Jamsostek bukan otoritasnya melainkan atasannya (dia menyebut nama seseorang). Padahal sebelumnya, seseorang yang disebut namanya oleh Ibu Sonya sudah mengirim SMS ke Ibu Lani bahwa urusan jamsostek ini pun bukan otoritasnya. Lalu, tanggung jawab siapa?


Pertemuan berakhir tanpa kejelasan, pencarian keadilan ibu Lani blm selesai. Pihak perusahaan berkelit pada ketiadaan uang karena tertundanya pembayaran oleh klien mereka. Sementara kebutuhan dan cicilan ibu Lani tidak bisa kompromi, anak-anaknya harus sekolah. Gajinya yang kecil tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari...

***
Ada dua hal yang bisa kita petik dari kejadian di atas. Pertama, fungsi seorang Manajer HRD. Dengan jabatan yang kita miliki, kita bisa melakukan dua hal: memudahkan atau menyusahkan urusan orang. Dalam pemahaman saya, Manajer HRD seharusnya dapat membantu karyawan yang membutuhkan bantuan. Yang tidak habis pikir, bukankah setiap bulan, gaji karyawan sudah dipotong untuk Jamsostek? Jika perusahaan tidak mendapat uang dari klien, itu adalah masalah perusahaan dengan klien, jangan dibebankan pada keluarga karyawan yang sudah meninggal. 

Kasus perusahaan yang belum bisa membayarkan Jamsostek pernah terjadi dengan salah seorang kawan saya. Bedanya, atasan langsung tempat ia bekerja, mau bersusah payah mengurusnya. Minimal, kalaupun tidak bisa langsung mengurusnya ke Jamsostek, perusahaan bisa menalangi terlebih dulu. Jadi, sebenarnya, ini masalah ada kemauan atau tidak. Semoga bukan karena dia driver lantas diabaikan hak-haknya. 

Kedua, untuk para suami. Jika di tempat kerja Anda ada Jamsostek, dana pensiun atau hak-hak lain yang bisa diterima keluarga, beri tahu isteri sehingga mereka paham apa hak-hak yang bisa ia dapatkan. 

Untuk sahabat-sahabatku yang bekerja di divisi HRD, keuangan atau divisi yang mengurusi karyawan, percayalah, jika kita memudahkan urusan orang lain, Allah akan memudahkan urusan kita juga. Just be nice to other employees. 


Minggu, 12 Mei 2013

"Nggak Penting IPK Tinggi Kalau ..."

Sebuah Catatan untuk Teman-teman Mahasiswa
Aprilina Prastari


Banyak yang bilang, saya termasuk orang yang senang belajar. Lulus D3 Broadcasting Universitas Gadjah Mada, saya bekerja sebagai wartawan dan penyiar di radio Ramako (sekarang namanya Lite FM). Meskipun sudah bekerja, tapi keinginan untuk melanjutkan S1, tetap ada. Saya merasa, tidak ada yang sia-sia dengan belajar, mencari ilmu, karena semua akan bermanfaat untuk kita. Pendapat itu masih saya pegang sampai sekarang. Terbukti, meski sudah memiliki dua anak dan salah satunya akan beranjak remaja, saya masih tetap semangat melanjutkan S2 (tapi jangan tanya tesis saya sudah sampai mana ya ... :D)

Namun, setelah bertahun-tahun bekerja di dunia komunikasi, saya menyadari satu kesalahan (tentu dari sekian banyak kesalahan yang saya lakukan) ketika saya kuliah di UGM dulu. Saya terlalu fokus belajar!

Lho, kok, fokus belajar memang salah?

Nggak, sih.

Alhamdulillah, saat saya lulus, saya termasuk lulusan terbaik untuk jurusan Broadcasting pada saat itu. Buat saya, itu membahagiakan. Namun, saya juga merasa gemas karena hanya ikut unit kegiatan mahasiswa BPPM (Badan Penerbitan Pers Mahasiswa) UGM. Itu pun nggak terlalu aktif. Pernah sih mengajar di Kopma UGM, tapi menurut saya, itu kurang banyak!

Menurut saya, mahasiswa itu harus aktif berkegiatan, banyak cari teman, bergaul. Networking! Itu yang penting. Makanya, saya sering bilang sama mahasiswa saya, kuliah itu jangan cuma mengandalkan IPK. Kalau buat saya, IPK cukup 3,00 tapi banyak kegiatan, aktif di komunitas-komunitas, dan bermanfaat buat orang lain.

Apalagi kalau masih muda dan bisa punya usaha sendiri. Duuuuh, keren banget! Jujur saya ngiri sama temen-temen yang masih muda dan sudah berbisnis atau berkarya dan menghasilkan uang. Keren!

Nah, untuk teman-teman yang masih mahasiswa (khususnya mahasiswa D3 atau S1), jangan cuma mengejar IPK tinggi, ya. Gunakan social media untuk berkenalan dengan orang-orang hebat dan melakukan hal-hal bermanfaat. Ketika lulus, kondisi yang bisa membuat teman-teman bertahan adalah keterampilan, kreativitas, dan jaringan.

Selamat belajar, berkarya dan berjaringan :)




Minggu, 05 Mei 2013

Toilet Duduk, Lebih Tepat untuk Tempat Umum

Beberapa menit lalu saya membaca berita ini:


Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih jika kereta api memerhatikan kebersihan toilet perempuan. Namun, saya melihat toilet-toilet di tempat umum, apalagi di kereta api, sebaiknya menggunakan toilet jongkok. 

Alasan pertama, pengguna kereta api pasti sangat banyak dan beragam. Di mal-mal bagus seperti Kota Kasablankan atau Sency yang kebersihannya selalu dicek saja, kita masih merasa khawatir dan kerap membersihkan penutup dudukan toiletnya dengan cairan khusus. 

Alasan kedua, seberapa sering petugas membersihkan toilet ini. Dengan melihat banyaknya penumpang atau pengunjung (kalau di mal atau tempat umum lain), petugas kebersihan tidak banyak, dan bilik kamar mandinya juga sedikit, apa mungkin akan sering dibersihkan? Awalnya sih memang terlihat bersih, tapi coba kalau sudah berjalan beberapa bulan.  Bahkan di beberapa tempat, seringkali saya melihat penutup dudukan toilet dipenuhi dengan tapak sepatu yang sudah pasti sangat kotor. 

Menanggapi pernyataan Pak DI, menurut saya, alasan digunakan toilet duduk karena perempuan yang memakai celana jeans supaya tidak kesulitan, rasanya kurang tepat, ya. Meskipun memang, toilet duduk memudahkan orang tua untuk buang air. 

Nah, kalau begitu, bagaimana kalau toiletnya dibuat dua; untuk orang tua dibuatkan toilet duduk dan satu lagi toilet jongkok. Hehehe ...

Tulisan ini juga sekaligus mengapresiasi para pembersih toilet, pengelola mal atau tempat-tempat umum yang sudah berbaik hati menjaga kebersihan toilet. Dan tolong, untuk sahabat-sahabatku para wanita, jika kita merasa toilet itu kurang bersih, jangan menaikkan sepatu ke atas dudukan toilet. Jangan pentingkan kebersihan diri kita sendiri lalu mengorbankan kebersihan orang lain. Setuju? :)



Sabtu, 04 Mei 2013

Masih SMP Kok Nyetir?

Bukan sekali-dua kali saya lihat anak SMP, nyetir motor, ngebut, nggak pakai helm. Dan, saya yakin, belum punya SIM. Buat saya yang emak-emak ini, melihat pemandangan seperti ini, bikin ngilu. Bermacam pertanyaan timbul di kepala saya:

Ibunya tau nggak ya kalo anaknya nyetir motor sendiri?
Kalo belum tau, kasian banget. Tapi kalo tau, kenapa ya ibunya kasih izin? Kalo cuma di dalam perumahan sih nggak apa-apa deh. Nah ini, di jalan raya!
Atau jangan-jangan, kalo nggak dibolehin, anaknya ngambek!

Kalau sudah begitu, saya langsung membayangkan anak-anak kami saat  remaja nanti. Kalau Wafa dan Taman Hati remaja, apa memaksa kami untuk dibolehin naik motor, nggak, ya?

Memang, salah satu penyebab konflik antara anak remaja dan orang tua, salah satunya ya karena motor atau kendaraan. Hal ini pun pernah saya tulis di buku saya, "Please deh, Mom- Solusi Konflik Anak Remaja dan Orang Tua". Di satu sisi, sang ibu belum bisa mengizinkan anaknya nyetir motor sendiri (karena belum punya SIM, takut kebut-kebutan di jalan, khawatir kecelakaan) sementara dari sisi anak, mereka merasa ibunya terlalu parno, mengekang kebebasan, dan sebagainya. Komunikasi dari hati ke hati dan tarik ulur, diharapkan bisa menjadi solusi mengurangi ketegangan diantara dua pihak.

Jujur, sebagai ibu dengan seorang puteri yang sebentar lagi insya Allah beranjak remaja, ada kondisi-kondisi yang sudah saya dan suami bicarakan ke Wafa sejak sekarang. Salah satunya soal naik motor. Pertanyaan seperti "kalau aku SMP, boleh nggak naik motor" pernah Wafa lontarkan melihat beberapa tetangga yang SMP ada yang naik motor kalau sekolah atau les.

Kami juga sering cerita apa yang kami lihat tentang remaja yang ugal-ugalan di jalan. Seperti yang pernah saya saksikan beberapa malam yang lalu. Ada TIGA gadis remaja berboncengan, tidak pakai helm, dan pengemudinya menyetir sambil ... telpon! Luar biasa, kan? Saya sempat menegurnya. Saya mengimbangi motornya dan bilang "Dek, jangan sambil telpon. Bahaya." Dan jawaban remaja itu, sangat luar biasa. "Trus, masalah buat lo?"

Astaghfirulloh. Cuma bisa geleng-geleng dan kembali pertanyaan-pertanyaan di atas tadi muncul di kepala saya.

Adik-adikku sayang, ....

Percaya deh, pasti ada alasan kenapa orang tua meminta kita untuk  nyetir motor dan mobil sendiri setelah kita kuliah atau sesudah punya SIM. Menurut saya, usia remaja itu masih mudah terpancing emosi. Ada motor atau mobilnya nyalip, nggak terima, terus balas salip lagi. Atau, pengin buru-buru sehingga ngebut.

Masalahnya, kalau  ugal-ugalan di jalan, kamu bukan hanya membahayakan diri sendiri, tapi juga orang lain. Dan kalau kamu sudah membahayakan orang lain, trauma itu akan sulit sembuhnya. Dan, bukan nggak mungkin kamu bisa menghilangkan nyawa orang lain karena kecerobohanmu. Kalau sudah begitu, yang ada hanya penyesalan ...

Bukan Karena Murah, Lantas Tak Dihargai, Kan?

Meski rumah tinggal kami bukan di perumahan keren, tapi Alhamdulillah, dekat dengan sekolah Islam yang menurut kami bagus dan Lembaga Tahfidz Qur'an (LTQ). Buat kami sekeluarga, ini adalah rizqi yang luar biasa. Kami sangat dimudahkan agar anak-anak bisa membaca Qur'an dengan baik dan menghafalnya.

Di LTQ ini, kami memasukkan Wafa dan Taman Hati di kelas tahfidz Qur'an. Alhamdulillah, Taman sekarang sudah hampir menyelesaikan hafalan juz 30  dan Wafa sudah mulai masuk hafalan juz 28. Ibunya? Plis, jangan tanya, ya :(

Meski mengajarkan ilmu yang manfaatnya sangat besar, LTQ Iqro ini hanya mematok biaya SPP yang sangat murah: hanya Rp 25.000 per bulan. Ya, hanya Rp 25.000. Ini untuk kelas anak-anak. Untuk dewasa memang lebih mahal tapi masih sangat terjangkau. Seminggu, masuk tiga kali yang boleh dipilih waktunya sesuai dengan kesibukan murid.

Nah, karena banyak ekskul, dan Wafa mengeluh capek, akhirnya sudah satu semeter ini, Wafa cuti. Selain, karena di sekolah, juga diajarkan tahfidz Qur'an. Sedangkan Taman Hati masih lanjut LTQ.

Cuma, sejak Wafa cuti LTQ, dan beberapa tetangga yang biasa berangkat sama-sama pindah rumah, Taman mulai malas masuk LTQ. Selama ini sih, Taman (dan dulu Wafa juga begitu), boleh tidak mengaji dengan beberapa kondisi: (1) sakit atau capek (2) ada tugas untuk besok atau mau ulangan (3) hujan. Di luar alasan itu, biasanya saya minta anak-anak untuk mengaji, paling tidak seminggu dua kali.

Hingga kira-kira beberapa minggu lalu, Taman benar-benar susah sekali diminta mengaji. Alasannya, "X (tetangga dekat rumah yang biasa berangkat sama-sama) juga nggak ngaji, Bun. Aku mau main aja, ya"

Melihat kondisi ini, saya coba ngobrol sama Taman. Saya coba gali apakah ada yang kurang nyaman di tempat les sehingga dia jadi kurang semangat LTQ. Jawabnya ya itu tadi. Temannya ada yang nggak LTQ dan mengajak main. Hehehe. Saya coba tawarkan untuk berhenti saja (dari pada keseringan nggak masuk) tapi dia menolak.  Nah, bingung, kan? Akhirnya saya bilang begini sama Taman:

"Ade, tau nggak apa yang bikin bu guru seneng?"
"Hmm, apa ya? hehehe ... " (eeeh ni anak malah nyengir lagi :D)
"Bu guru seneng kalo murid-muridnya semangat dateng ngaji, Dek"
"Tapi X ajah sama uminya nggak apa-apa nggak LTQ. Soalnya katanya bayarnya murah" (beeeuh ni anak)
"Ade, bayar murah bukan berarti kita jadi males-malesan. Coba Ade bayangin. Minggu kemaren waktu ujan, ternyata bu guru tetep dateng, kan? Ade nggak kasian bu guru udah capek-capek dateng, trus muridnya sedikit? Sedih nggak kira-kira bu guru? Kan kita udah sepakat, Ade boleh nggak LTQ kalo ... (saya sebutin lagi perjanjian yang pernah saya dan Taman sepakati)"

Taman diam. (hayo mau debat Nun apalagi :D)

Akhirnya, dia janji mau semangat LTQ lagi kecuali jika ketiga hal tadi terjadi.
Alhamdulillah, sekarang, sudah lumayan semangat lagi. Cuma tetep aja sih, masih harus diingetin, apalagi kalau sudah asyik main sama teman-temannya. Hehehe ...

Soal kurangnya antusiasme belajar kalau pelatihannya murah juga rasanya bukan dilakukan anak-anak, ya. Kita yang dewasa juga suka begitu. Termasuk saya. Kadang, kalau ikut pelatihan murah, pasti ada perasaan "Ah, santai aja. Murah ini, ..." Padahal, untuk yang mengajar, tentu bukan soal uangnya tapi antusiasme kita dalam mengikuti pelatihan yang diberikan.

Semoga kita lebih bisa menghargai setiap ilmu dan pengetahun yang diberikan oleh siapapun dan di mana pun, meskipun dengan harga yang murah.

Kamis, 11 April 2013

Selamat Hari Bawa Bekal Nasional


Bekal: Bentuk Sayang Bunda Bekerja
Aprilina Prastari

Sebagai ibu bekerja, saya akui, waktu saya di rumah menjadi sangat berkurang. Apalagi ketika saya masih bekerja di advertising agency yang sarat dengan lembur. Saat itu saya berpikir, saya harus memiliki sesuatu agar anak-anak tetap mengingat “keberadaan” saya. Saya ingin anak-anak mengingat masa kecilnya dengan manis tentang saya.
Akhirnya, sejak cuti melahirkan berakhir dan anak-anak masih harus saya mandikan, saya berjanji pada diri sendiri, selarut apapun saya pulang, esok paginya, harus saya yang memandikan mereka. Bukan pengasuh! Meski, saya akui, ada juga saat-saat saya tidak bisa memandikan mereka dan harus dibantu pengasuh.
Ketika anak-anak mulai TK, saya pun mulai menambah tugas: membuatkan bekal sekolah untuk mereka. Memang tidak setiap hari mereka membawa bekal kue yang saya buat. Ada saatnya mereka saya bawakan roti atau biskuit dalam kemasan. Namun dalam seminggu, pasti ada saat-saat saya (dibantu oleh ART) membuat bekal berupa kue yang dibuat sendiri. 
Dengan kemampuan memasak yang segitu-gitunya (:D), jujur saya pernah merasa khwatir. Nanti kalau nggak enak, gimana? Kalau nggak dimakan gimana? Dan saat-saat pulang kerja, pertanyaan pertama ke pengasuh adalah: "bekalnya dimakan nggak?" Hehehe. 
Untungnya anak-anak pengertian. Kalau tanpa perlu saya tanya, mereka bilang, "Bun, kuenya enak!" Itu tandanya kuenya benar-benar enak. Tapi kalau, mereka bilang, "Hmm lumayan," Nah, itu berarti minggu depan harus belajar lagi :D
Alhamdulillah, kebiasaan membawa bekal sendiri dari rumah masih terus berjalan sampai sekarang. Saya memang tidak membiasakan anak-anak jajan. Hanya tiap Jumat anak-anak saya izinkan untuk jajan di kantin  supaya tidak bosan. Tentu dengan bekal pengetahuan apa jajanan yang sehat dan tidak. 
Mungkin yang saya lakukan tidak seberapa. Tapi saya berharap, semoga kelak, ketika mereka dewasa, mereka memiliki kenangan tentang saya dan bekal sekolah mereka ...  

*** 

Sharing Resep: 

Dear Bunda, ini salah satu resep yang biasa saya buat untuk bekal sekolah anak-anak. Resepnya saya contek dari buku “Ide Masak”, Resep Kue Favorit All About Keju, terbitan GPU:

Kroket Keju Makaroni
Bahan:
4 sdm mentega (tawar)
Bawang bombai cinang
4 sdm tepung terigu
350 ml susu cair
50 gr keju, parut halus
50 gram makaroni, rebus hingga matang tapi jangan telalu lembek
½ sdt garam
½ merica bubuk
¼ sdt pala bubuk
100 gram keju mozzarella, potong kecil
Pelapis:
50 gram tepung serbaguna
1 butir telur ayam
100 gram tepung roti kasar
Cara membuat:
1.       Panaskan mentega. Tumis bawang bombai. Tambahkan tepung. Aduk cepat hingga rata. Kecilkan api. Tuang susu sedikit demi sedikit sambil terus diaduk hingga tercampur rata.
2.       Tambahkan keju, makaroni, garam, merica, pala. Aduk rata. Masak hingga semua matang. Angkat biarkan hingga dingin. Ambil 2 sdm makaroni, isi dengan 1 potong keju. Bentuk lonjong. Lakukan hingga semua adonan habis.
3.       Guling ke dalam tepung terigu hingga tersalut rata. Celupkan ke dalam telur. Gulingkan ke dalam tepung roti hingga rata.
4.       Goreng dalam minyak banyak dan panas. Angkat. Tiriskan.

Selamat membuat bekal, para Bunda ... J

Sabtu, 16 Maret 2013

Kejar Target Boleh, Tapi ...

Sebuah catatan untuk para agen ...


Saya memahami kondisi teman-teman yang bekerja di dunia marketing: dikejar target. Entah itu jadi agen asuransi, agen properti, member sebuah MLM, dan profesi sejenis. Tentu, sebagai teman, saya salut dengan kegigihan mereka dalam mencari nasabah atau anggota baru. Namun, jangan sampai, target yang harus dicapai justru mengorbankan pertemanan.

Beberapa waktu lalu, seorang kawan yang sudah lama tidak menghubungi tiba-tiba mengirim SMS.
Apriiiil ... gue kangen nih. Apa kabar? Ketemuan doong
Haaaii ... Gue baik. Lo gimana? Iyaa, gue juga kangen nih. Yuk yuk ketemuan. 

Kami pun berbalas SMS dan sesuai hari dan jam yang sudah disepakati, kami bertemu di sebuah pusat perbelanjaan. Setelah kami duduk, tanpa basa-basi, teman saya langsung menyampaikan maksud pertemuan kami itu.

Pril, gue sekarang jadi agen asuransi nih. Ni, udah gue buatin hitung-hitungannya buat elo. 

Jujur, seketika wajah ceria saya sedikit berubah. Sebelum berangkat, bahkan saat kami menentukan waktu bertemu, saya sangat senang karena akan bertemu dengan teman lama yang dulu cukup akrab. Saya begitu bahagia ketika dia SMS dan itu menandakan ia masih mengingat saya. Bukankah itu kebahagiaan dari sebuah pertemanan? Tetap diingat, dirindukan, meski sudah tak lama bertemu? Atau, saya yang terlalu melankolis?

Sebetulnya, saya tidak alergi agen asuransi atau MLM yang ingin menawarkan produknya. Banyak agen asuransi yang menghubungi dan saya akan menolak dengan sopan. Saya paham itu adalah pekerjaan mereka! Tapi, yang tidak saya sukai adalah ketika seseorang mengatasnamakan kangen hanya untuk jualan. Buat saya, itu kebohongan dan menganggap teman hanya sekadar target! Apalagi, dulu kami berteman cukup dekat.

Bukankah lebih baik, dia bercerita terus terang bahwa saat ini dia seorang agen asuransi dan berniat untuk menawarkan produknya untuk saya? Bukankah sebagai teman kita akan saling menghargai kebutuhan masing-masing?

Untuk teman-temanku, para agen asuransi, properti, MLM, atau profesi sejenis,
Kejujuran dan keterbukaan adalah hal penting dalam menjaga sebuah hubungan. Andaikan teman saya jujur, saya pasti akan menerimanya dengan antusias dan terbuka. Bahkan mungkin, jika memang membutuhkan, saya akan mengambil produk yang ia tawarkan. Tapi karena saya sudah tak enak hati, saya justru mendengarkannya setengah hati. Sudah pasti, saya tidak mengambilnya.

Teman tentu boleh dijadikan prospek nasabah, tapi di dalamnya ada rasa yang harus dijaga. Jangan sampai, mengejar target, kehangatan sebuah pertemanan akan hilang.

Selamat berjuang mengejar target dengan cara yang elegan.



Rabu, 13 Maret 2013

"Ketika Adik Cemburu"


Tulisan ini pernah dimuat di rubrik "Buah Hati" Republika, Selasa, 15 Januari 2013.
Semoga bermanfaat :)

Ketika Adik Cemburu
Aprilina Prastari

        “Ih, tulisan Kakak jelek!” kata Taman Hati, puteri kami yang kedua, setelah membaca cerita pendek yang ditulis kakaknya, Wafa Auliya. Wafa memang senang menulis. Beberapa kali ia memenangkan lomba menulis dan beberapa karyanya diterbikan dalam bentuk buku.
       Awalnya, saya menganggap itu hanya keisengan Taman Hati. Mereka memang suka saling bercanda dan meledek tapi masih dalam batas-batas wajar. Namun sepertinya saya salah. Ungkapan itu bukan sekadar lelucon tapi tanda ia sedang cemburu. Itu bisa saya rasakan ketika di lain waktu, ia mengungkapkannya dalam bahasa yang berbeda.
      Saat itu, saya khusyuk memantau pengumuman lomba menulis untuk anak. Kurang lebih sebulan sebelum pengumuman itu, Wafa mengirim karyanya untuk diikutsertakan. Ketika melihat nama Wafa masuk dalam dua puluh karya terbaik dan akan dibukukan, spontan saya melonjak gembira. Segera saya kabarkan pada suami dan Wafa yang kebetulan ada di ruang tengah. Kami pun mengucap syukur dan begitu senang. Meski tidak menjadi juara pertama, tapi masuk sebagai salah satu karya terbaik, sudah cukup membanggakan kami. Kami semua senang dan gembira hingga kami lupa, di pojok tempat tidur, Taman Hati hanya diam memerhatikan kami.
      Saya lalu memberi isyarat pada suami agar diam dan tidak menunjukkan kegembiraan berlebihan. Saya dekati dia dan meledaklah tangisnya.
      “Aku enggak hebat kaya Kakak. Kakak sering ikut lomba. Piala Kakak banyak. Pialaku cuma satu,” ia menangis terisak dalam pelukan saya.
      Saya terdiam. Sungguh, saya merasa bersalah.  Bagaimana mungkin saya lupa kalau lomba menulis itu juga diikuti oleh Taman Hati. Mengapa saya hanya fokus mencari nama Wafa dan begitu yakin kalau nama Taman Hati tidak memiliki kesempatan untuk tampil di deretan nama pemenang. Betapa saya tidak adil padanya!
    Memang, sejauh ini saya belum melihat Taman Hati memiliki ketertarikan yang serius pada dunia kepenulisan. Mungkin saya yang belum dapat melihatnya atau memang bukan di bidang itu, kelebihan yang dimilikinya. Di sisi lain, Taman Hati berbeda dengan Wafa yang senang mengikuti banyak kegiatan dan tertantang untuk mengerjakan sesuatu yang baru.
       Taman Hati masih menangis ketika saya memeluknya erat.
       “Ade tau enggak apa yang bikin Ayah dan Bunda bangga sama Ade?” tanya saya akhirnya.
       Ia menggeleng. Air matanya masih menetes tapi tangisnya sudah mereda.
      “Sejak masih di perut Bunda, Ade makannya pinter. Ade juga lucu, selalu bikin Ayah-Bunda ketawa, dan baik sama temen. Makanya temennya Ade banyak, kan?” ucap saya dengan suara tercekat.  
       Ia mengangguk pelan.
    Sungguh, bukan hal yang mudah memiliki dua anak dengan kondisi yang dapat menimbulkan kecemburuan di satu pihak; kakak berprestasi dan adik biasa saja. Tentu kami berusaha semaksimal mungkin menggali potensi puteri kedua kami meski tidak akan memaksakannya untuk selalu tampil menonjol jika memang ia tak nyaman. Namun, sikap cemburunya mengajarkan kami untuk berhati-hati agar tidak terlalu menampakkan kesenangan yang berlebihan ketika Wafa memenangkan lomba tertentu dan menanamkan pada diri Taman Hati bahwa anak yang hebat bukan karena sering memenangkan lomba dan mendapat banyak piala, tapi anak yang selalu berusaha menyenangkan hati orang tuanya, rendah hati, ramah pada siapa saja, seperti yang selama ini ia lakukan.
    “Bunda minta maaf ya, kalo Ade merasa Bunda nggak adil sama Ade. Nanti kalo ada lomba lagi, Ade ikut, ya.”
      Taman mengangguk.
      “Emang Ade mau ikut lomba apa sih?” pancing saya.
      “Lomba mewarnai, menggambar, masak, ... pokoknya semua,” katanya dengan suara terbata-bata.
     Saya tersenyum dan mengangguk. Semoga saya dan suami bisa menggali kehebatan yang sudah Allah titipkan dalam dirinya ....              
               
      Pondok Gede, 22 Desember 2012
      Untuk kedua puteriku yang luar biasa ...



Ini lhoo yang namanya Taman Hati :)


Senin, 21 Januari 2013

Dapat Air Bersih, Sudah Cukup untuk Buat Kita Bersyukur :)


Matahari masih menunjukkan sinar gagahnya ketika saya, teman-teman dari Forum Lingkar Pena Bekasi (Sudi, Vira, Haden, Pendi, Adi, Ilham, Ina), Sanggar Anak Matahari (Andi, Nadiah, dan beberapa teman sanggar yang lain), Mas Eko dan Mas Sahid, bersiap menuju Babelan, Bekasi. Siang itu, Minggu, 20 Januari 2013, kami akan menengok korban banjir untuk membagikan 200 paket nasi bungkus, makananan kering, susu, dan pakaian layak pakai (terima kasih untuk para donatur yang sudah menitipkan sebagian rejekinya kepada kami).  Tak hanya makanan dan pakaian, RS Zainuttaqwa juga membantu menyediakan ambulance beserta seorang dokter, dua perawat, dan obat-obatan. Alhamdulillah. Terima kasih banyak untuk RS Zainuttaqwa. Semoga semakin berkah.

Saya tidak hapal jalan apa saja yang kami lewati. Maklum, gagap Bekasi hehe. Yang jelas, kami melewati sawah, sungai, dan ah iya, ada satu tempat yang saya ingat: Pasar Babelan! Dari situ, kami masih harus terus berkendara menuju sumur minyak Pertamina. Desa Hurip Jaya, Babelan—tempat kami akan mengadakan bakti sosial ini- terletak tak jauh dari sana.

Tapi, biarpun letaknya dekat dengan sumur minyak , saya masih melihat rumah-rumah tak layak huni karena masih beralas tanah! Iya, tanah! Jadi bisa dibayangkan kalau banjir dan airnya masuk ke dalam rumah!

Menurut warga, saat hujan lebat beberapa hari lalu, daerah ini terendam banjir setinggi kurang lebih satu meter. Meskipun pada saat kami datang, banjir sudah mulai surut tapi masih menggenangi rumah warga setinggi kurang lebih 20 Cm. Makanya, penyakit yang hampir diderita warga di sana adalah kutu air dari yang tingkatnya sedang sampai parah! Ya iyalah, gimana kakinya mau kering, lah wong airnya masuk ke dalam rumah dan mereka harus tinggal di sana! Bahkan ada seorang ibu yang badannya dipenuhi bintil-bintil seperti cacar.

“Ya mau gimana lagi! Nggak ada air bersih ya saya mandinya pake air banjir,” katanya.  

Mandi dengan air banjir ini juga bukan dialami ibu itu saja, lho. Warga di desa ini terpaksa mandi dengan air banjir karena kesulitan air bersih. Sementara untuk makan dan minum, mereka harus membeli air bersih di tempat lain yang tidak terkena banjir. Selain penyakit kulit, warga di desa ini juga mengeluhkan penyakit lain, seperti mata gatal, demam, flu, pusing, diare dan ulu hati sakit.   

Kami pun segera membuka posko pelayanan kesehatan selama kurang lebih satu setengah sejam. Ada sekitar tujuh puluh warga  (terdiri dari bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak) yang kami layani. Ada juga beberapa ibu yang belum sempat ditangani karena kami kehabisan salep kulit. Maaf ya, Bu L

Memang, agak sulit penyakit sulit ini bisa sembuh kalau air bersih belum bisa mereka peroleh dan air masih menggenangi rumah mereka.






Selain Desa Hurip Jaya, daerah-daerah lain yang terkena banjir juga banyak yang belum memperoleh air bersih, lho. Setidaknya, itu yang saya lihat sendiri, ketika sehari sebelumnya, Sabtu, 19 Januari 2013, saya dan suami melihat kondisi di Perumahan Pondok Gede Permai. Jumat lalu, sungai yang terletak di belakang perumahan ini meluap dan tanggulnya jebol. Alhasil, perumahan ini terendam banjir hingga kurang lebih 3 meter!

Saat kami ke sana, Alhamdulillah banjir sudah surut tapi meyisakan lumpur setinggi 10-20 Cm. Di sini pun, tidak ada air bersih dan listrik mati. Saya sempat ngobrol dengan salah satu warga yang sedang membersihkan tokonya.

"Udah kayak tsunami pokoknya. Nggak ada yang sempet nyelamatin barang. Barang-barang di toko saya aja rusak semua," katanya sambil senyum. Masih sempat senyum, lho. Hebat, ya. Dan ada satu lagi kata-kata Bapak ini yang bikin saya salut.

"Yah, kita nggak bisa melawan kehendak Allah. Dijalani aja. InsyaAllah nanti diganti lagi sama yang lebih bagus sama Allah."

Subhanallah. Padahal, kalau saya lihat tokonya yang rusak dan barang dagangan yang sudah tidak bisa dijual lagi (Bapak ini berjualan baju-baju muslim), mungkin kerugiannya mencapai puluhan juta! Semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik ya, Pak.




 Pulang dari Pondok Gede Permai, kami sengaja tidak membersihkan kaki yang penuh lumpur. Buat oleh-oleh untuk diceritakan ke anak-anak kami, Wafa dan Taman Hati, bahwa tak jauh dari tempat tinggal mereka, ada orang-orang yang kesulitan air bersih.

Bersyukurlah, kita masih bisa menikmati air bersih :)

Selasa, 15 Januari 2013

"Jalan-Jalan ke Prancis" by Wafa Auliya

Alhamdulillah, buku pertama yang Wafa tulis sendiri sudah terbit, November lalu. Diterbitkan oleh Tiga Ananda. Doakan Wafa tetap semangat menulis yaaa :)

Princess Aliya dan Gua Misterius



Hasil pelatihan di Kelas Ajaib!
Terima kasih Kang Benny yang sudah berbagi ilmu. Juga untuk Mbak Ichen, Mbak Iffa dan Dika. What a great team!

Sinopsis

Princess Aliya terjebak ke dalam Gua Jebakan Gua! Untuk keluar dari gua itu, Princess Aliya harus menemukan 20 kunci yang ada pada 20 princess dari 20 negeri. Untunglah, dalam gua itu, Princess Aliya menemukan buku Kumpulan 20 Kisah Princess dan membacanya. Semua kisah itu harus dia ceritakan kembali setiap kali menemui princess pemegang kunci. 
Berhasilkah Princess Aliya keluar dari gua? Yuk, ikuti perjalanan Princess Aliya dan simak cerita kedua puluh princess yang menarik dan bermanfaat :)

Senin, 14 Januari 2013

"Ketika Adik Cemburu" di Rubrik Buah Hati, Republika


Alhamdulillah, tulisan saya "Ketika Adik Cemburu" dimuat di Rubrik Buah Hati, Republika hari ini.
Cerita ini tentang puteri kedua saya, Taman Hati, yang cemburu pada kakaknya, Wafa. Ia merasa, kakaknya lebih hebat karena sering menang lomba. Dari kecemburuannya, kami belajar untuk berhati-hati dalam meluapkan perasaan ketika Wafa meraih prestasi tertentu. Kami juga menjelaskan pada Taman bahwa anak yang hebat bukan dari banyaknya piala yang ia peroleh. Taman Hati sudah menjadi anak yang hebat karena sudah menyenangkan hati Ayah dan Bunda :)

Senin, 07 Januari 2013

Ketika nilai puteriku jelek ....

Saya percaya, tiap anak memiliki kelebihannya masing-masing. Begitu juga untuk pelajaran di sekolah. Sebagai orang tua, kita tidak bisa menuntut anak menguasai semua bidang pelajaran. Biasanya ada satu-dua pelajaran yang kurang diminati anak.

Ini juga dialami puteri saya, Wafa. Sejak masuk SD, Wafa sangat bagus di pelajaran Bahasa tapi harus "kerja keras" untuk memahami Matematika. Terlebih ketika sudah Kelas IV dan materi yang diajarkan semakin meningkat, saya harus memberikan waktu dan perhatian ekstra saat ulangan matematika.

Pernah, untuk pertama kalinya, Wafa mendapat nilai matematika jelek. Jauh di bawah nilai rata-rata. Alhamdulillah, Wafa jujur dan tetap memberikan nilai ulangan itu ke saya. Saya hanya bilang ke Wafa, "Yang penting Kakak berusaha. Belajar maksimal dan sungguh-sungguh. Kalau sudah belajar sungguh dan hasilnya nggak bagus, ya sudah. Belajar lagi. Sebaliknya, kalau Kakak belum berusaha tapi udah nyerah, merasa nggak bisa, itu yang nggak bagus."

Syukurlah, Wafa tidak menyerah. Dia berusaha mengikuti arahan guru matematikanya dan mencoba belajar lagi. Saya akui juga, peran guru sangat besar dalam memotivasi anak. Saya lihat di hasil ulangan Wafa ada kalimat: "Semangat Wafa!" dan saya sampaikan apresiasi tersebut langsung ke gurunya.

Alhamdulillah, setelah mengikuti remedial, nilainya meningkat jauh. Begitu juga saat pengambilan rapor semester 1 lalu, nilai matematikanya bagus.


My dear Wafa,

Percayalah, kita boleh saja kurang pintar di suatu bidang. Tapi dengan sungguh-sungguh dan ketekunan, kita pasti bisa berhasil.







Jumat, 04 Januari 2013

Gado-gado Femina - Kualat


Hai, 

April 2012, saya pernah mengikuti lomba menulis untuk rubrik "Gado-Gado" di Majalah Femina. Alhamdulillah, tulisan saya tersebut masuk tiga besar. Tadinya saya pikir akan dimuat tapi ternyata nggak hihihi. Tapi hadiah kerennya sudah bikin saya seneng banget, kok. Nah, buat temen2 yang namanya ada di cerita ini, makasih banyak yaaa. 

Tulisan ini saya dedikasikan untuk sahabat kami, Almh. Mira. We miss you but know you're happy with the baby ... :) 



Lomba Menulis “Gado-Gado” Majalah Femina

“Kualat”
Aprilina Prastari


Jangan sampai, gara-gara SMS, suasana yang seharusnya mengharukan berubah jadi menggelikan.
           
            Sekadar saran saja. Kalau Anda memiliki beberapa teman dengan nama depan atau panggilan yang sama, jangan lupa untuk mencatat di phonebook handphone: nama lengkap, tempat kerja atau apapun yang bisa mengingatkan Anda pada dia. Jangan sampai, gara-gara SMS, suasana yang seharusnya mengharukan berubah jadi menggelikan.
Malam itu, saya dikejutkan berita, salah seorang mantan rekan kerja yang meninggal dunia karena kanker. Padahal setahun lalu, kami bertemu dan dia terlihat sehat. Bahkan beberapa bulan lalu, kami masih sempat telpon-telponan untuk sebuah pekerjaan. Yang lebih memilukan, dia masih muda, usianya lima tahun di bawah saya dan ia tengah mengandung anak pertamanya. Duh, sedih sekali mendengarnya.
            Dalam keadaan masih syok, saya lalu mengabarkan teman-teman yang pernah sekantor dengan almarhumah. Sebagian lewat bbm, sebagian lagi SMS. Segera saya ketik SMS duka dan mulai mencari nama teman-teman di phonebook.
            Tak berapa lama kemudian, sebuah SMS masuk. Dari Dedi. Hanya nama “Dedi” tanpa penjelasan lain. Entah kenapa, saat membaca nama Dedi di layar telepon, pikiran saya langsung teringat pada Dedi, account executive (AE) paling muda di kantor tempat kami bekerja dulu. Kami pun berbalas SMS.  
            Pril, udah tau kalo Mira meninggal?
            Iya, udah, Ded. Gue sedih banget. Padahal beberapa bulan lalu masih telpon-telponan.
            Iya, sedih banget, ya. Kapan sih dimakaminnya? Lo mau ngelayat?
            InsyaAllah dimakamin besok siang. Gue mungkin ngelayat besok pagi sebelum ngantor. Btw, kok Lo kenal Mira. Kenal di mana?
            Untuk beberapa saat SMS saya tidak dibalas. Lima belas menit kemudian, barulah Dedi membalasnya.
            Laaah, gimana sih. Masa baru berapa tahun nggak ketemu, lo lupa.
            Saya diam. Dedi yang ada di pikiran saya saat itu masih sama. Saya justru malah sibuk menduga-duga, di mana kira-kira Dedi bertemu dengan almarhumah Mira. Mungkinkah mereka pernah sekantor atau … ah, iya, mereka kan sama-sama AE. Bisa saja mereka bertemu di sebuah seminar. Tapi … akhirnya saya menyerah dan menjawab SMS:  
            Ini Dedi mana ya?
            Apriiill .. Masa lupa siiih … Ini gue, Dedi Uban!
            MasyaAllah! Pak Dedi? Maaaf …

            Wah, malunya! Ternyata SMS itu bukan dari Dedi yang saya kira. Saya memang memiliki dua teman bernama Dedi. Dua-duanya sama-sama orang Sunda dan bekerja di advertising agency. Bedanya, Dedi yang satu masih muda, sedangkan yang satu lagi, yang sekantor dengan saya dan almarhumah adalah Dedi yang sudah tua. Berhubung Pak Dedi ini sudah beruban, makanya,kami sekantor sering memanggilnya dengan Pak Dedi Uban. Pak Dedi memang lebih senang memakai kata gue dan elo dengan teman-teman sekerjanya, meskipun kami berbeda usia sangat jauh.  
            Dulu, waktu masih sekantor, kami memang akrab karena saya copywriter dan Pak Dedi adalah art director, jadi sebelum membuat iklan, kami (saya, Pak Dedi dan almarhumah Mira) sering brainstorming. Makanya, saya enggak enak banget. Apalagi sesudah itu, Pak Dedi, SMS lagi:
            Kualat Lo, Pril. Lupa sama babeh sendiri …

            Saya cuma bisa nyengir. Semoga almarhumah Mira juga ikut tersenyum di alam sana.