Minggu, 7 Juni 2015 lalu, saya
diundang menjadi pembicara di acara “Smart Parents, Smart Kids”. Acara
yang digagas oleh Duta Indonesia
Pintar--yang merupakan mahasiswa-mahasiswi Universitas Mercu Buana-- ini berlangsung
di Mal Cipinang Indah, Jakarta Timur. Pada kesempatan tersebut, saya berbagai
tentang prinsip menerapkan aturan untuk anak.
Seiring dengan bertambahnya usia
anak, mereka perlu diajarkan mengenai aturan. Hal ini penting sehingga anak
memahami bahwa ada kewajiban yang perlu ia lakukan dan tidak semaunya sendiri.
Aturan yang diajarkan tentu perlu disesuaikan dengan kemampuan anak; dari
hal-hal sepele seperti menjemur handur setiap kali habis mandi, meletakkan
kembali barang-barang yang sudah dipakai ke tempat semula, dan sebagainya.
Namun tak jarang, banyak orangtua
yang mengeluh karena anak tidak mau menuruti aturan yang sudah diberikan. Nah,
bagaimana ya agar anak mau diajak bekerjasama?
Pertama, aturan akan lebih mudah
dipatuhi jika antara orangtua dan anak sama-sama menyepakatinya. Agar anak mau
menyepakatinya, sebagai orangtua kita perlu menyampaikan apa yang kita inginkan
atau harapkan dari anak. Seringkali, aturan sulit dilakukan karena
masing-masing memiliki pemikirannya sendiri-sendiri dan tidak diungkapkan.
Misal, soal waktu main. Ada orangtua yang membuat jadwal bermain anak karena
khawatir anaknya terlalu kelelahan dan jika sudah begitu akan memengaruhi
kesehatannya. Sedangkan, bagi anak, bermain sangat menyenangkan. Ia tidak
mengetahui kekhawatiran orangtua. Bisa jadi yang ada di pikirannya, kenapa sih
Mama punya banyak aturan? Kenapa aku nggak boleh bermain? Sehingga, supaya anak
memahami, orangtua perlu menyampaikan.
“Kak, Bunda seneng kalo Kakak
main bola sama temen-temen. Kakak boleh main bola. Tapi dokter bilang kan Kakak
nggak boleh terlalu capek dulu. Gimana kalau kita sepakatin waktu mainnya?”
Kedua, konsisten dengan aturan
yang sudah kita buat. Misal, waktu menonton TV.
Kalau kita sudah menyepakati menonton TV hanya satu jam per hari,
jalani. Seringkali kita mudah tergoda dengan rengekan atau tatapan sedih anak. Saat
awal aturan dibuat, sangat mungkin terjadi, anak masih belum terbiasa sehingga
lupa melakukannya. Itu hal yang wajar. Tugas kita adalah terus menyemangati dan
mengingatkan dengan berbagai cara.
Ketiga, beri solusi. Banyak
orangtua menahan agar anaknya tidak jajan, tidak menonton TV namun tidak
memberikan solusi. Anak jajan bisa jadi karena ia mudah lapar, sehingga
solusinya, siapkan camilan yang cukup di rumah. Anak menonton karena dia merasa
tidak ada yang dikerjakannya, solusinya, berikan buku, peralatan yang menunjang
hobinya, atau kegiatan lain.
Keempat, jadi contoh.
Mengharapkan anak tidak menonton sinetron tapi kita pun menontonnya saat anak
ada di rumah? Saya yakin anak akan mudah menjawab, “Mama sendiri nonton
sinetron,” :D
Kelima, satu suara antara Ayah
dan Bunda. Jangan sampai, ibu tidak membolehkan, tapi ayah membolehkan. Kata
bunda, pokoknya nggak boleh naik motor sampai kamu punya SIM.” Kata ayah, “Boleh
naik motor, tapi jangan jauh-jauh, ya.” Anak jadi bingung, boleh apa nggak sih
sebetulnya?
Satu suara juga perlu dilakukan
oleh pengasuh dan keluarga yang ada di dalam rumah.
Mau tahu lebih banyak tentang
komunikasi dalam pengasuhan anak? Tunggu buku solo saya ya :D
Salam hangat,
Aprilina Prastari
setuju dengan tips-tipsnya, Mbak :)
BalasHapusTerima kasih sudah mampir ya, Mbak :)
Hapus