Minggu, 19 Januari 2020

Enam Hal yang Saya Lakukan untuk Sembuh dari Haid Berlebihan



2019 menjadi salah satu tahun yang penuh pelajaran buat saya. Salah satunya, diuji Allah dengan haid berkepanjangan atau istilah kedokterannya menorrhagia.  Jadi kalau umumnya saya haid selama kurang lebih satu minggu, selama masa perdarahan ini, saya mengalami haid hingga 3 minggu. Bukan sekadar (maaf) keluar darah haid tapi gumpalan jeli dan sangat banyak. Bahkan pada awal-awal saya mengalami ini, saya harus mengganti pembalut tiap jam padahal itu pembalut yang panjangnya 42 CM. Kebayang ya banyaknya darah yang keluar. 

Sebetulnya sih, dibilang sakit, saya enggak merasakan sakit. Hanya keluar darah tanpa rasa nyeri. Pun, alhamdulillah enggak pusing atau lemas. Biasa saja. Saya masih bisa melakukan pekerjaan rumah, kerjaan kantor dengan baik. Paling mengganggu hubungan suami-istri ya hehehe… 
Selain itu, salat dengan kondisi seperti itu, kurang nyaman. Berasa enggak bersih. Atau, kalau meeting kelamaan, saya harus izin ke toilet untuk ganti pembalut. Selebihnya, enggak ada masalah. Cuma memang, setelah beberapa bulan, HB saya terjun bebas dan harus mengalami transfusi darah hingga 5 kantong!

Kondisi ini berawal pada Januari 2019, saya mengalami haid selama kurang lebih 2 minggu. Awalnya cuek. Mungkin kelelahan. Cuma karena sudah 2 minggu lebih enggak berhenti, akhirnya saya konsultasi ke dokter kandungan di rumah sakit di daerah Jakarta Timur. Waktu itu dokternya hanya bilang, ada penebalan dinding rahim. Saya disarankan untuk enggak makan banyak gorengan, banyak makan buah dan sayur, selain olah raga.

“Penebalan dinding rahim itu karena apa ya, Dok?” tanya saya waktu itu.
Dokternya pun enggak bisa jawab. Cuma menduga mungkin saya kurang olah raga. Terlebih karena selama ini, saya tidak pernah bermasalah saat haid. Alhamdulillah, setiap kali haid, selalu normal, tanpa nyeri dan teratur. 


Pulang dari dokter, dikasih obat penghenti perdarahan. Minum beberapa kali, berhenti, tapi beberapa hari kemudian (saya lupa berapa lama) perdarahan lagi.

Setelah diskusi sama suami, akhirnya saya pindah dokter dan rumah sakit. Terlebih karena saya melihat dokternya masih muda dan belum berpengalaman (maaf ya, Dok).

Saya lalu pindah berobat ke  rumah sakit di kawasan Cibubur. Awalnya saya mau konsultasi ke Dr Ovy, dokter kandungan saya dulu, cuma karena harus menunggu sebulan (karena saya pasien nonhamil) akhirnya cari dokter lain yang sama-sama sudah doktor.

Oleh beliau, jawabannya ternyata sama. Setelah USG, info yang saya dapat hanya penebalan dinding rahim dan ada polip di rahim. Saya juga enggak dikasih obat cuma disarankan banyak olah raga, banyak makanan berserat dan kurangi gorengan. Saya juga disarankan melakukan pap smear (HPV) jika dalam kondisi bersih. Masalahnya, darahnya belum berhenti-henti. Sekalipun keluar sedikit kan enggak bisa tes ya. 

Kondisi ini bikin saya bertanya-tanya. Kenapa enggak ada dokter yang bisa saklek kasih jawaban ada apa dengan saya. Jujur ya waktu itu saya sudah mulai malas ke dokter. Ditambah “penyakit” ini nggak dibayar asuransi kantor karena dinilai masuk ke dalam kategori penyakit hormonal.

“Enggak usah ke dokter lagi ah, Yah. Aku males,” kata saya ke suami. 
“Kalo Bunda nggak mau ke dokter, nggak mau ikhtiar lagi, berarti Bunda nggak sayang sama Ayah dan anak-anak.”

Deuh, kalau suami udah bilang gitu, berat deh.






“Ya udah, tapi aku mau ke Dokter Ovy aja.”

Setelah menunggu sebulan, akhirnya saya ketemu Dokter Ovy, dokter kandungan saya dulu. Alhamdulillah, dengan beliau saya merasa nyaman.

Setelah panjang lebar menceritakan kondisi saya, Dr Ovy melakukan USG. Jawabannya sebetulnya sama sih, penebalan dinding rahim tapi tidak ada polip. Dokter Ovy lalu kasih saya beberapa obat. Beberapa kali minum obat, perdarahan berhenti. Namun ketika saya haid lagi (sesuai jadwal), waktunya lagi-lagi lebih lama. Saya pun kembali konsultasi ke Dokter Ovy.


“Ibu cek darah ya,” kata beliau.
“Buat apa, Dok?”
“Ibu kan perdarahan sudah beberapa bulan. Berhentinya cuma beberapa hari saja, khawatirnya HBnya turun jauh dan kondisi ini akan membahayakan keselamatan Ibu.”

Akhirnya saya cek darah. Hasilnya keluar beberapa hari kemudian.

Saat itu, sebetulnya kemalasan berobat ke rumah sakit mulai datang lagi. Bukan hanya karena harus antre dan bayar obat tapi buat orang yang kurang suka minum obat seperti saya, harus konsumsi pil beberapa butir sehari, bikin eneg.

Cuma suami saya bilang, “Bunda harus semangat ya. Ayah siap anter ke dokter kapan pun, yang penting Bunda sembuh.”

Aseeek …
Beberapa hari sesudah tes darah, rumah sakit menghubungi saya.
“Bu, HB Ibu semakin turun. Ibu harus ke rumah sakit hari ini juga,”
Saat itu memang rencananya saya mau konsultasi lagi ke dokter karena perdarahan lagi.

“Ibu HBnya 7. Rawat inap ya, sekaligus transfusi darah,” kata dokter Ovy dengan wajah yang tenang tapi nadanya terdengar agak khawatir.
“Sekarang, Dok?”
“Semakin cepat semakin baik,”
“Hmm… kalau sekarang enggak bisa, Dok?”
“Kenapa?”
“Nggg… saya ada deadline kerjaan,”
Oopss…
Duh, maaf ya, Dok. Dokter pasti gemas kan sama saya. Sama. Saya juga wkwkwkw

“Ibu bisanya kapan?”
“Jumat ya, Dok.”
Hari itu kalau saya enggak salah hari Selasa.
Nah, berhubung Jumat itu, Ayah harus antar Wafa kembali ke As-Syifa, akhirnya saya naik takol ke rumah sakit.

Saya pun kembali cek darah dan menunjukkan HB saya kembali turun ke 5!

“Bu, kata Dokter Ovy, Ibu harus segera transfusi darah. Kita coba 4 kantong darah dulu ya, Bu,”

Huhuhu… Bismillah.

Sebelum transfusi, saya melakukan serangkaian pemeriksaan.

“Ibu tadi ke rumah sakit sendiri?” tanya dokter penyakit dalam.
“Iya, Dok.”
“Ibu nggak pusing? Biasanya HB 5 itu pusing, lho”
“Alhamdulillah, enggak, Dok. Tadi pagi saya masih sempet beres-beres rumah, nyuci…”
Ya gimana ya…. Passion saya emang beres-beres rumah, Dok. Wkwkw…

Setelah periksa sana sini, akhirnya saya ditransfusi. Memasuki kantong keempat, dokter cek saya lagi. Kalau saya enggak salah, di belakang telinga saya agak bengkak menandakan tubuh saya kurang bisa menerima transfusi terlalu banyak.

“Ibu cek darah dulu ya. Kalau HBnya diatas 10, nggak perlu transfusi lagi dan ibu bisa dikuret tapi kalau masih di bawah 10, harus transfusi lagi.”

Ternyata… masih 9. Dan saya masih belum bisa dikuret karena syaratnya, HB harus diatas 10.
Jadi sementara transfusi berhenti dulu dan saya harus bed rest.

Seingat saya, habis itu saya dikasih obat supaya tubuh saya lebih kuat menerima transfusi darahnya. Beberapa jam kemudian, 1 kantong darah kembali ditransfusi lagi. Setelah 1 kantong selesai, dicek darah lagi, dan Alhamdulillah HB saya diatas 10 dan siap dikuret.

Hal yang membuat saya agak deg- degan  karena omongan Dr Ovy yang datang malam harinya sebelum saya dikuret. Meski saya tahu itu adalah SOP yang harus beliau sampaikan. 

"Ibu tenang aja ya, insya Allah prosesnya cepat. Cuma, saya harus sampaikan, jika saat dikuret, Ibu mengalami perdarahan hebat, rahim Ibu terpaksa saya angkat."

Jleb!
Setelah Dr Ovy keluar kamar, saya nangis di pelukan suami. Meski kami tidak lagi merencanakan punya anak tapi rasanya berat jika itu harus terjadi. Saat itu cuma bisa pasrah pada Allah. 

Minggu, 30 Juni 2019 pagi, saya dikuret dan sorenya  diperbolehkan pulang.



Awalnya saya pikir, dikuret untuk membersihkan sisa-sisa darah di dinding rahim supaya enggak perdarahan lagi, ternyata saya salah hahaha… Kuret yang biayanya lumayan itu ternyata hanya untuk mengambil sampel untuk melihat apakah itu kanker atau bukan.

2 Minggu Menunggu Hasil

Enggak tahu kenapa, menunggu hasil lab 2 minggu nggak semules nunggu hasil ujian PMB Taman Hati masuk As-Syifa hihihi…
Waktu amplop dibuka sama dr Ovy, Alhamdulillah hasilnya bukan kanker. Dengan beberapa pertimbangan dan hasil mengobrol sama suami, kalau bukan kanker, kami akan ikhtiar dengan herbal dan alternatif.

Inilah beberapa hal yang saya lakukan dalam waktu bersamaan meski ada beberapa yang sudah saya lakukan sebelum kuret.

Pertama, pasti berdoa. Semua yang terjadi pada manusia pasti atas seizin Allah. Bisa karena dosa-dosa kita, bisa karena keinginan Allah supaya kita lebih dekat. Apapun itu, saya berdoa agar Allah mengampuni dosa-dosa saya, menjadikan sakit yang saya alami sebagai penggugur dosa dan ikhlas menerima sakit yang Allah berikan.

Kedua, ruqyah mandiri sesuai sunnah, dengan menggunakan daun bidara, baik untuk diminum, mandi dan dipercikkan ke sudut-sudut rumah. Info dari Ustadzah Eka, salah satu penyebab yang berkaitan dengan haid bisa jadi diganggu jin atau sihir. 

Ketiga, minum kunir putih. Ada yang sudah dijual dalam bentuk kapsul. Namun perlu hati-hati ketika membelinya, khawatir bukan asli kunir putih.

Keempat, totok. Sebelum sakit pun saya sesekali totok di Klinik Toto Bu Lilis, nggak jauh dari SDIT Iqro’, Pondok Gede. Dengan totok, insya Allah mengurangi sumbatan-sumbatan sehingga darah mengalir lebih lancar. 

Kelima dan keenam, ini yang menurut saya langsung terlihat hasilnya, yaitu akupuntur Korea dan sengat lebah.  (Lebih jauh tentang akupuntur Korea akan saya tulis terpisah ya)

Saya enggak tahu ikhtiar mana yang paling tepat dan membantu saya untuk sembuh tapi yang pasti, saya percaya bahwa jika Allah Swt mengizinkan maka tidak ada yang tidak mungkin.  

Apa yang saya simpulkan dari dikasih sakit sama Allah? Betapa saya bersyukur memiliki suami yang sangat peduli, anak-anak yang pengertian, teman-teman yang menyayangi dan pastinya makin mencintai Allah Yang Maha Menyembuhkan.

Makasih banyak untuk semua teman yang sudah memberi semangat, doa dan  herbal buat saya. Untuk Huzaefah, terapis akupuntur Korea yang sabar menghadapi emak2 takut jarum kek saya hahaha, Bunda Salma yang udah kasih daun bidara, Kak Ita Kusuma yang beliin saya kunir putih, Bu Lilis dan para terapisnya, dan semua yang tulus mendoakan saya. Boleh jadi, doa teman-temanlah yang Allah kabulkan.  
Semoga Allah membalas kebaikan hati teman-teman semua.  

Salam sehat untuk semua.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar