Ibu-ibu yang selama ini kerja tetap, pasti merasa ‘merdeka’
ketika memutuskan untuk bekerja dari rumah. Merdeka dari macet, merdeka dari
pulang malam, merdeka dari atasan yang mungkin perilakukanya kurang
menyenangkan, dan masih banyak lagi.
Tapi, di manapun bekerja atau beraktivitas, ada saja hal-hal
yang bisa jadi tantangan.
Pertama, mengatur waktu kerja.
Tanpa ada rekan kerja dan atasan yang mengawasi, terkadang
kita terlena dengan situasi ini. Terlebih untuk mereka yang senang menunda.
Nanti saja lah
mengerjakannya. Santai-santai dulu, boleh, dong …
Nah jika sikap ini terus-menerus dilakukan, bukan saja
pekerjaan menumpuk tapi dapat mengganggu deadline. Jika lewat deadline, tentu
akan memengaruhi kepercayaan klien pada kita.
Solusinya, buatlah jam kerja. Kelebihan bekerja di rumah,
jam kerja tidak harus dari pukul 9.00-17.00, tapi bisa disesuaikan dengan
kebutuhan. Yang penting, dalam satu hari, jumlah jam kerja konsisten dan cukup
untuk menyelesaikan pekerjaan.
Kedua, menjaga emosi terkait dengan pengasuhan anak
Kalau biasanya kita hanya menginstruksikan pengasuh untuk
melakukan ini dan itu terkait dengan mengasuh anak, maka ketika di rumah, kita
pun perlu menangani anak secara langsung. Misal, ketika mereka susah makan.
“Mbak, Tania mau
makan?”
“Susah, Bu. Diemut
terus,”
“Oh, yang sabar ya,
Mbak. Coba sambil main atau biar dia makan sendiri,”
Tapi bagaimana kalau melihat langsung? Bisa jadi emosi kita
ikut naik. Dampaknya, bukan hanya untuk anak, tetapi juga mood kita saat
melakukan pekerjaan.
Solusinya, jika masih memiliki ART, kita dapat menentukan
saat kapan kita perlu turun tangan dan mana yang masih bisa ditangani ART
(dengan kondisi masih ada pekerjaan yang perlu diselesaikan).
Meskipun memang, memberi pemahaman kepada anak-- bahwa
meskipun di rumah, ibu tetap bekerja, memerlukan waktu.
Tantangan lain dan solusinya bisa dibaca di buku saya “Jangan
Asal Resign untuk Ibu Bekerja” di toko buku di seluruh Indonesia.