Sabtu, 04 Mei 2013

Bukan Karena Murah, Lantas Tak Dihargai, Kan?

Meski rumah tinggal kami bukan di perumahan keren, tapi Alhamdulillah, dekat dengan sekolah Islam yang menurut kami bagus dan Lembaga Tahfidz Qur'an (LTQ). Buat kami sekeluarga, ini adalah rizqi yang luar biasa. Kami sangat dimudahkan agar anak-anak bisa membaca Qur'an dengan baik dan menghafalnya.

Di LTQ ini, kami memasukkan Wafa dan Taman Hati di kelas tahfidz Qur'an. Alhamdulillah, Taman sekarang sudah hampir menyelesaikan hafalan juz 30  dan Wafa sudah mulai masuk hafalan juz 28. Ibunya? Plis, jangan tanya, ya :(

Meski mengajarkan ilmu yang manfaatnya sangat besar, LTQ Iqro ini hanya mematok biaya SPP yang sangat murah: hanya Rp 25.000 per bulan. Ya, hanya Rp 25.000. Ini untuk kelas anak-anak. Untuk dewasa memang lebih mahal tapi masih sangat terjangkau. Seminggu, masuk tiga kali yang boleh dipilih waktunya sesuai dengan kesibukan murid.

Nah, karena banyak ekskul, dan Wafa mengeluh capek, akhirnya sudah satu semeter ini, Wafa cuti. Selain, karena di sekolah, juga diajarkan tahfidz Qur'an. Sedangkan Taman Hati masih lanjut LTQ.

Cuma, sejak Wafa cuti LTQ, dan beberapa tetangga yang biasa berangkat sama-sama pindah rumah, Taman mulai malas masuk LTQ. Selama ini sih, Taman (dan dulu Wafa juga begitu), boleh tidak mengaji dengan beberapa kondisi: (1) sakit atau capek (2) ada tugas untuk besok atau mau ulangan (3) hujan. Di luar alasan itu, biasanya saya minta anak-anak untuk mengaji, paling tidak seminggu dua kali.

Hingga kira-kira beberapa minggu lalu, Taman benar-benar susah sekali diminta mengaji. Alasannya, "X (tetangga dekat rumah yang biasa berangkat sama-sama) juga nggak ngaji, Bun. Aku mau main aja, ya"

Melihat kondisi ini, saya coba ngobrol sama Taman. Saya coba gali apakah ada yang kurang nyaman di tempat les sehingga dia jadi kurang semangat LTQ. Jawabnya ya itu tadi. Temannya ada yang nggak LTQ dan mengajak main. Hehehe. Saya coba tawarkan untuk berhenti saja (dari pada keseringan nggak masuk) tapi dia menolak.  Nah, bingung, kan? Akhirnya saya bilang begini sama Taman:

"Ade, tau nggak apa yang bikin bu guru seneng?"
"Hmm, apa ya? hehehe ... " (eeeh ni anak malah nyengir lagi :D)
"Bu guru seneng kalo murid-muridnya semangat dateng ngaji, Dek"
"Tapi X ajah sama uminya nggak apa-apa nggak LTQ. Soalnya katanya bayarnya murah" (beeeuh ni anak)
"Ade, bayar murah bukan berarti kita jadi males-malesan. Coba Ade bayangin. Minggu kemaren waktu ujan, ternyata bu guru tetep dateng, kan? Ade nggak kasian bu guru udah capek-capek dateng, trus muridnya sedikit? Sedih nggak kira-kira bu guru? Kan kita udah sepakat, Ade boleh nggak LTQ kalo ... (saya sebutin lagi perjanjian yang pernah saya dan Taman sepakati)"

Taman diam. (hayo mau debat Nun apalagi :D)

Akhirnya, dia janji mau semangat LTQ lagi kecuali jika ketiga hal tadi terjadi.
Alhamdulillah, sekarang, sudah lumayan semangat lagi. Cuma tetep aja sih, masih harus diingetin, apalagi kalau sudah asyik main sama teman-temannya. Hehehe ...

Soal kurangnya antusiasme belajar kalau pelatihannya murah juga rasanya bukan dilakukan anak-anak, ya. Kita yang dewasa juga suka begitu. Termasuk saya. Kadang, kalau ikut pelatihan murah, pasti ada perasaan "Ah, santai aja. Murah ini, ..." Padahal, untuk yang mengajar, tentu bukan soal uangnya tapi antusiasme kita dalam mengikuti pelatihan yang diberikan.

Semoga kita lebih bisa menghargai setiap ilmu dan pengetahun yang diberikan oleh siapapun dan di mana pun, meskipun dengan harga yang murah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar