Senin, 18 April 2016

Jangan Asal Resign! - Persiapan Bekerja dari Rumah

Tak sedikit ibu bekerja yang kerap diliputi rasa gundah. Di satu sisi, merasa masih perlu memberi kontribusi bagi keuangan keluarga, namun di sisi lain, khawatir dengan perkembangan buah hatinya karena merasa sedikit waktu di rumah. Apalagi jika anak dalam kondisi sakit, pada usia yang membutuhkan banyak perhatian dari orangtua, khususnya ibu. Kepusingan bertambah ketika  ART atau pengasuh harus pulang kampung.

Pernah berada di dalam posisi itu?

Saat kondisi itu terjadi, mungkin para ibu bekerja berpikir, gimana ya tetap bisa berkontribusi untuk keuangan keluarga tapi masih memiliki waktu lebih banyak untuk anak-anak?

Mungkin nggak sih? Bagaimana memulainya?

Buku “Jangan Asal Resign (untuk Ibu Bekerja)” diharapkan bisa memberi jawaban atas kegundahan tersebut. Buku ini memaparkan perencanaan yang perlu dilakukan seorang ibu untuk bekerja dari rumah; baik sebagai self-employed maupun business owner, karena keduanya memerlukan perencanaan yang berbeda. Begitu juga tantangan yang akan dihadapi dan solusinya. 


Diperkaya dengan wawancara dengan business coach Lyra Puspa dan Valentino Dinsi juga beberapa narasumber ibu yang sebelumnya bekerja kantoran lalu resign, kemudian sukses menjadi freelancer atau membuka usaha. 



Tertarik untuk membacanya? Buku terbitan Grasindo ini bisa dibeli di toko buku Gramedia di sleuruh Indonesia dan beberapa toko buku online. 

Terima kasih. Selamat membaca :)

Kamis, 07 April 2016

LGBT Ditinjau dari Aspek Neuropsikologi

(Ditulis berdasarkan paparan pemateri Dr. Ihsan Gumilar, pada ToT “Selamatkan Generasi Emas Indonesia”, 30 Maret 2016 di Kampus UNJ, kerjasama Rumah Parenting Yayasan Kita dan Buah Hati dan Pusat Studi Wanita UNJ)

Menurut ilmu neuroplasticity, otak dapat terus berkembang, fungsi dan struktur dapat berubah sesuai dengan perilaku dan pengalaman yang pemiliknya lakukan. Susunan saraf akan mengenali apa kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan pemiliknya. Bahkan dapat otak dapat merespon dan menyiapkan sesuatu yang dipikirkan atau diniatkan oleh pemiliknya.  

Ketika ada seorang laki-laki yang berprilaku seperti seorang perempuan dan didukung oleh lingkungan sekitarnya, otak akan menangkap sinyal tersebut. Konsep dirinya pun dapat berubah dan bukan tidak mungkin lambat laun ia akan merasa bahwa dirinya adalah perempuan. Terlebih jika ia banyak bergaul dengan pelaku homoseksual dan transgender.

Faktor-faktor  yang membentuk seseorang menjadi homoseksual memang ada yang disadari dan tidak. Bisa jadi karena pola pengasuhan yang kurang tepat atau pernah menjadi korban dari kejahatan seksual.

Catatan Penulis:

Dari paparan di atas, penting bagi orangtua untuk memerhatikan anak-anaknya. Mengenalkan anak akan jenis kelaminnya dan aktivitas-aktivitas penunjang. Saya teringat dengan seorang anak laki-laki (saat itu usianya masih SD). Ia senang bermain masak-masakan dengan teman-teman perempuan.

Oleh teman-temannya yang laki-laki, ia kerap dipanggil bencong.
“Ih, bencong! Mainannya masak-masakan!”

Meskipun saya bukan ibunya, namun ada kekhawatiran jika ucapan dari teman-temannya dapat mengubah konsep dirinya.
Saat itu saya panggil teman-teman yang mengatainya dan mengajak mereka bicara karena bisa jadi mereka tidak menyadari dampak dari apa yang mereka ucapkan.


Mulai dari diri kita sendiri, ayo kita selamatkan generasi emas Indonesia! 

Rabu, 06 April 2016

Benarkah Perilaku Homoseksual Bukan Sebuah Penyakit Gangguan Mental?

ToT SEMAI #1

(Ditulis berdasarkan paparan Dr. Ihsan Gumilar, pakar neuropsikologi dalam Training of Trainers SEMAI, di kampus UNJ, 30 Maret 2016)

Untuk menentukan apakah gejala-gejala yang dirasakan oleh seseorang dapat dikategorikan sebagai sebuah penyakit gangguan mental, psikolog maupun psikiater umumnya akan mengacu pada buku pegangan yang dinamakan DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders), yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (APA).

Di dalam DSM-5, perilaku homosesual tidak tercantum di dalam buku tersebut. Namun, melihat perjalanan buku pegangan tersebut, ada hal penting yang perlu dicermati.
Sebagai sebuah buku pegangan, maka setiap perubahan (revisi) yang dilakukan mulai dari DSM-1 hingga DSM-5, sudah sepatutnya melalui penelitian yang memenuhi syarat.

Di dalam DSM-1 dan DSM-2, homoseksual sebenarnya ada di dalam kategori penyakit gangguan mental. Namun saat itu, sekitar tahun 1970-an di Amerika Serikat, gerakan feminisme yang semakin meningkat juga disertai dengan tuntutan dari aktivis LGBT yang meminta persamaan hak. Mereka menginginkan agar ‘homoseksual’ dicabut dari DSM. Akhirnya, dibentuklah sebuah komite untuk menentukan apakah homoseksual termasuk penyakit mental atau bukan.

Tanpa sebuah penelitian, hanya berdasarkan voting, perubahan besar terjadi di dalam DSM-2 cetakan keenam. Agar tidak terlalu menggegerkan, perlahan-lahan, dari mulai DSM-2 hingga sekarang, beberapa perubahan dilakukan terkait dengan penyakit homoseksual:
DSM-2 Revised (1973) : Homoseksual dianggap sebagai sexual orientation disturbance (ada gangguan).
DSM-3 (1980) : Ego-dystonic homosexuality; kalau penderita merasa tidak nyaman baru dapat dikategorikan sebagai penyakit. Ini yang banyak dipakai oleh psikolog.
DSM-3 Revised (1987) : sexual disorder not otherwise specified; dikategorikan sebagai penyakit yang tidak dikenal (unknown disease)
DSM-4 (1994) : kata homoseksual sebagai penyakit gangguan mental dihilangkan dari buku DSM tersebut.


Selain itu, meskipun pelaku homoseksual tidak menunjukkan gejala penyakit mental pada umumnya, seperti tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari, untuk mempertimbangkan apakah itu digolongkan penyakit atau bukan harus melihat di mana kultur penyakit itu berada. Aspek kultur termasuk agama perlu dipertimbangkan. Dengan demikian, jika di Indonesia semua agama telah melarang homoseksual dan transgender, pelaku LGBT perlu disembuhkan.