Selasa, 23 Juli 2013

Tipe Parenting Apakah yang Kita Terapkan?

Selamat Hari Anak Nasional!

Semoga anak-anak Indonesia menjadi anak-anak yang berkarakter baik, sukses dunia akhirat. Aamiin.

Bicara soal karakter anak, saya percaya hal tersebut sangat dipengaruhi oleh pola asuh orang tuanya—bagaimana orang tua mendidik dan berkomunikasi dengan anak-anaknya. Apa yang dialami anak ketika dewasa, tentu ditentukan oleh bagaimana masa lalunya.

Awal juli lalu saya berkesempatan mengikutkan puteri saya, Taman Hati, untuk ikut tes STIFIn (lebih jelas tentang STIFIn, silakan ditanya ke Eyang Google, ya, hehehe). Tak hanya Taman Hati, saya juga mengikuti mini training yang disampaikan oleh Mas Andhika Harya, trainer dari STIFIn,  dan Mas Reza Adrianto.

Dari sekian banyak materi yang sangat menarik  yang dipresentasikan pada hari itu, saya ingin berbagi tentang  tipe-tipe pola asuh orang tua.

Tipe pertama, adalah tipe orang tua cuek. Orang tua tipe ini, biasanya memiliki responsivitas rendah. Ia tidak begitu memerhatikan kondisi anak, sedang apa anaknya, siapa teman mainnya, bagaimana kondisi anaknya, dan sebagainya. Boleh dibilang, ia tidak memedulikan anak-anaknya. Mereka mau apa saja, terserah. Komunikasi dengan anak pun jarang. Di sisi lain, ia juga tidak menuntut banyak dari anaknya.  Mau dapat nilai bagus syukur, tidak pun ya biar saja. Tipe orang tua seperti ini bisa menjadi bom waktu. Saat mereka kecil, bisa saja belum timbul masalah. Tapi setelah mereka dewasa, anak akan menjauh dari orang tuanya.

Tipe kedua, permisif alias sering membolehkan. Boleh dibilang, tipe ini memiliki responsivitas tinggi.  Anak selalu dilayani, dipenuhi kebutuhannya. Tetapi di sisi lain, tuntutan orang tua terhadap anak rendah. Hal ini mengakibatkan anak menjadi manja.

Tipe ketiga, otoriter. Kebalikan dari permisif, orang tua tipe ini memberi tuntutan terlalu tinggi pada anak, namun tidak melakukan komunikasi dua arah. Kecenderungannya untuk anak perempuan, menjadi tergantung pada orang tua, dan untuk anak laki-laki cenderung menjadi agresif.

Sedangkan yang terakhir, adalah tipe autoritatif. Orang tua tipe ini memiliki responsivitas tinggi namun tuntutan terhadap anak juga tinggi. Mereka menerima dan melibatkan anak-anak, dan tentu melakukan komunikasi dua arah. Meski mendapat tuntutan namun anak melakukannya dengan nyaman dan penuh semangat.

Nah, bagaimana dengan kita? Masuk ke tipe parenting manakah?

Jika kita termasuk tipe autoritatif, SELAMAT! Besar kemungkinan, ketika dewasa, anak memiliki motivasi untuk maju.

Alhamdulillah, setelah mengisi daftar pertanyaan, kami termasuk orang tua autoritatif. Tentu kami harus terus belajar dan memahami kesalaham-kesalahan yang selama ini kami lakukan.

Semoga, kita bisa menjadi orang tua yang menjadi kesayangan anak-anak kita...

(Seputar pola asuh, juga dapat dibaca di buku Pengantar Psikologi, karya Atkinson (1987). 

Rabu, 17 Juli 2013

Travelling, Cara Menyenangkan Ajarkan Anak Cinta Alam


Ada banyak cara yang kami lakukan untuk mengajarkan anak mencintai kebersihan. Salah satunya, tidak membuang sampah sembarangan. Apalagi, saya termasuk orang yang paling gemas kalau melihat orang membuang sampah seenaknya. Lempar bungkusan pelastik dari dalam mobil, buang kemasan minum di selokan sudah sangat sering saya lakukan. Dan, seringkali, saya tegur. Kalau dengan anak-anak, menegur dengan manis, kalau dengan orang dewasa, menegur dengan sadis. Qiqiqi ...  :P :D (ok, back on track)

Nah, hal yang saya lakukan untuk mengajarkan ini adalah mencontohkan ke anak-anak untuk membuang sampah ke tempatnya. Jika di suatu tempat saya tidak menemukan tempat sampah, saya akan membawa sampah tersebut sampai saya menemukan tempat sampah. Sederhana, ya. Tapi butuh proses sampai anak-anak benar-benar terbiasa membuang sampah di tempatnya.  

Suatu kali, puteri saya Wafa pernah melihat saya membawa sampah.
Dia bertanya, “kenapa sampahnya Bunda bawa?”
Saya jawab, “karena nggak ada tempat sampah. Nanti kalau ada tempat sampah, baru Bunda buang.”

Rupanya, ucapan saya itu membekas di benaknya. Beberapa kali saya melihat Wafa membuang sampah di tempatnya, atau membawanya jika ia tidak menemukan tempat sampah.

Cara lain yang menyenangkan untuk mengajarkan anak cinta lingkungan, khususnya kebersihan, adalah mengajaknya travelling.  Seperti yang kami lakukan akhir Juni 2013 lalu, kami mengajak anak-anak berlibur ke Pulau Tidung.

Dua hari sebelum berangkat, Wafa dan Taman Hati, semangat searching di internet tentang Pulau Tidung. Melihat foto-foto laut di sekitar pulau, mereka takjub dan begitu antusias. Maklum, ini kali pertama kami jalan-jalan ke sana. Dari foto-fotonya, memang kelihatan lautnya sangat indah!

Setelah menempuh perjalanan sekitar 2,5 jam dari Muara Angke, kami sampai di Pulau Tidung. Anak-anak sudah tak sabar ingin snorkeling dan main di pantai. Siang itu juga, setelah meletakkan tas, kami berangkat dengan perahu kecil untuk snorkeling.  

Subhanallah. Airnya bening, ikan-ikan cantik berenang mengerubuti kami, dan karang-karang, bisa kami nikmati dengan jelas. Setelah setengah puas snorkeling, kami main ke Pulau Payung. Pulau ini sepi tapi berpenghuni. Sayang, di tepi pantai, banyak sampah. Kembali ke Pulau Tidung, waktu kami main-main di dekat Jembatan Cinta, sampah juga bertebaran di mana-mana! Apalagi di Pulau Tidung Kecil. Dari mulai bungkus mie instant, botol minuman, sampai yang parah, popok sekali pakai juga dengan manis teronggok di tepi pantai.

Saya katakan ke anak-anak, “sekarang lautnya masih cukup bersih. Tapi kalau sampahnya dibiarkan terus, lama-lama airnya juga jadi kotor.”
Esok paginya, kami pun bersama-sama mengumpulkan sampah di tepi pantai dan membuangnya ke tempat sampah.   


Mungkin hanya inilah yang dapat kami lakukan untuk mengajarkan anak-anak kami mencintai kebersihan, tapi kalau setiap orang tua mengajarkan anaknya membuang sampah di tempatnya, insya Allah, Indonesia akan selamanya bersih dan indah. 

*Foto-foto menyusul, ya :D