Senin, 20 Januari 2020

Mengenal Akupuntur Korea

Ketika saya mengalami haid berkepanjangan (Menorrhagia) pada Januari-Juli 2019, dua pengobatan alternatif yang saya lakukan selain minum herbal adalah terapi akunputur Korea dan sengat lebah.

Berbeda dengan akupuntur Tiongkok, kalau akupuntur Korea, jarumnya “hanya” di tangan dan tidak terlalu masuk ke dalam. Sakit? Hmm… justru kalau enggak sakit, sumbatannya sudah banyak. Kalau soal sakit, ya seperti ditusuk jarum pada umumnya. Dibilang sakit banget, enggak, cuma memang agak nyeri. Menurut terapisnya, kalau masih terasa nyeri, berarti penyakitnya belum terlalu parah. Hanya menurut saya, rasa khawatir akan jarumnya itu yang lebih menakutkan ketimbang rasa sakitnya sendiri. Apalagi emak-emak takut jarum seperti saya. Baru lihat jarum, tangan sudah keringetan huhuhu…

Nah, waktu perdarahan, saya harus diterapi seminggu dua kali. Hari pertama tangan kiri, hari kedua tangan kanan, begitu seterusnya. Bukan hanya di telapak tapi juga punggung tangan. Kurang lebih ada 50 jarum yang ditusukkan ke telapak dan punggung tangan. Malah, untuk penyakit seperti stroke, bisa sampai 100 jarum, lho.
Alhamdulillah, atas izin Allah, kurang lebih 6 kali diterapi, haid saya kembali normal, tentu dengan pengobatan lain yang juga saya lakukan.



Supaya istrinya nggak takut, Ayah ikut nemenin diakupuntur ... Horeee... 


Biaya dan Tempat

Nah, ini banyak ditanya sama teman-teman saya nih. Kalau saya, terapisnya saya panggil ke rumah.  Hingga saat ini, terapisnya tinggal di Bekasi dan sejauh ini bersedia datang ke daerah Bekasi, Jakarta Timur. Kalau jauh, biasanya melihat ada berapa banyak pasien yang harus diterapi di daerah sana. Biasanya, sekalian di satu kompleks A, biar nggak bolak balik. 
Saya kurang tahu apakah ada klinik akupuntur Korea yang bisa didatangi. Untuk biaya, relatif masih terjangkau, apalagi kalau dilihat dari efisiensinya karena kita enggak perlu antre di rumah sakit. Untuk pertama kali, saya diminta untuk membeli jarum baru yang akan dipakai selama saya diterapi. Kalau saya enggak salah harganya Rp100 ribu. Bisa dipakai berkali-kali.
Untuk terapinya sendiri, karena dipanggil ke rumah, tentu menyesuaikan jarak ya. Sekitar Rp175-250 ribu per orang per sekali datang tapi ini hanya harga perkiraan karena tergantung dari jarak dan penyakitnya juga. 

Ditunjang Sengat Lebah

Selesai akupuntur, ditutup dengan sengat lebah di bagian pergelangan kaki. Rasanyaaa… Agak sakit hihihi… Terasa panas tapi itu cuma terasa selama sekian menit. Habis itu biasa lagi. Herannya waktu Ibu kami disengat lebah, beliau enggak merasa sakit. Ternyata, kata Huzaefah, terapisnya, justru kalau enggak berasa sakit, penyumbatannya terlalu banyak. Dan benar lho, setelah disengat lebah dua kali, yang ketiga baru berasa. Duh, pantesan nih, Ibu suka pusing ya.


Tu dia lebahnya hehehe....


Penyakit Apa yang Bisa Dibantu?

Kalau dari obrolan saya sama terapisnya, bisa segala penyakitnya ya. Beberapa pasien yang mengalami stroke, setelah diterapi beberapa kali, menunjukkan kemajuan, ada juga yang lagi progam kehamilan.
Tentu semua kesembuhan datangnya dari Allah ya. Yang penting tetap ikhtiar, ikhlas dan pasrah dengan apapun yang Allah berikan pada kita.  


Semoga bermanfaat dan buat teman-teman yang sakit, semoga Allah sembuhkan.

Minggu, 19 Januari 2020

Enam Hal yang Saya Lakukan untuk Sembuh dari Haid Berlebihan



2019 menjadi salah satu tahun yang penuh pelajaran buat saya. Salah satunya, diuji Allah dengan haid berkepanjangan atau istilah kedokterannya menorrhagia.  Jadi kalau umumnya saya haid selama kurang lebih satu minggu, selama masa perdarahan ini, saya mengalami haid hingga 3 minggu. Bukan sekadar (maaf) keluar darah haid tapi gumpalan jeli dan sangat banyak. Bahkan pada awal-awal saya mengalami ini, saya harus mengganti pembalut tiap jam padahal itu pembalut yang panjangnya 42 CM. Kebayang ya banyaknya darah yang keluar. 

Sebetulnya sih, dibilang sakit, saya enggak merasakan sakit. Hanya keluar darah tanpa rasa nyeri. Pun, alhamdulillah enggak pusing atau lemas. Biasa saja. Saya masih bisa melakukan pekerjaan rumah, kerjaan kantor dengan baik. Paling mengganggu hubungan suami-istri ya hehehe… 
Selain itu, salat dengan kondisi seperti itu, kurang nyaman. Berasa enggak bersih. Atau, kalau meeting kelamaan, saya harus izin ke toilet untuk ganti pembalut. Selebihnya, enggak ada masalah. Cuma memang, setelah beberapa bulan, HB saya terjun bebas dan harus mengalami transfusi darah hingga 5 kantong!

Kondisi ini berawal pada Januari 2019, saya mengalami haid selama kurang lebih 2 minggu. Awalnya cuek. Mungkin kelelahan. Cuma karena sudah 2 minggu lebih enggak berhenti, akhirnya saya konsultasi ke dokter kandungan di rumah sakit di daerah Jakarta Timur. Waktu itu dokternya hanya bilang, ada penebalan dinding rahim. Saya disarankan untuk enggak makan banyak gorengan, banyak makan buah dan sayur, selain olah raga.

“Penebalan dinding rahim itu karena apa ya, Dok?” tanya saya waktu itu.
Dokternya pun enggak bisa jawab. Cuma menduga mungkin saya kurang olah raga. Terlebih karena selama ini, saya tidak pernah bermasalah saat haid. Alhamdulillah, setiap kali haid, selalu normal, tanpa nyeri dan teratur. 


Pulang dari dokter, dikasih obat penghenti perdarahan. Minum beberapa kali, berhenti, tapi beberapa hari kemudian (saya lupa berapa lama) perdarahan lagi.

Setelah diskusi sama suami, akhirnya saya pindah dokter dan rumah sakit. Terlebih karena saya melihat dokternya masih muda dan belum berpengalaman (maaf ya, Dok).

Saya lalu pindah berobat ke  rumah sakit di kawasan Cibubur. Awalnya saya mau konsultasi ke Dr Ovy, dokter kandungan saya dulu, cuma karena harus menunggu sebulan (karena saya pasien nonhamil) akhirnya cari dokter lain yang sama-sama sudah doktor.

Oleh beliau, jawabannya ternyata sama. Setelah USG, info yang saya dapat hanya penebalan dinding rahim dan ada polip di rahim. Saya juga enggak dikasih obat cuma disarankan banyak olah raga, banyak makanan berserat dan kurangi gorengan. Saya juga disarankan melakukan pap smear (HPV) jika dalam kondisi bersih. Masalahnya, darahnya belum berhenti-henti. Sekalipun keluar sedikit kan enggak bisa tes ya. 

Kondisi ini bikin saya bertanya-tanya. Kenapa enggak ada dokter yang bisa saklek kasih jawaban ada apa dengan saya. Jujur ya waktu itu saya sudah mulai malas ke dokter. Ditambah “penyakit” ini nggak dibayar asuransi kantor karena dinilai masuk ke dalam kategori penyakit hormonal.