Sabtu, 23 Juli 2016

Ini Tantangan Anak Masuk Pesantren

Sejak kelas V SD puteri pertama kami mulai menunjukkan keinginannya untuk melanjutkan ke pesantren/boarding school. Dengan anak hanya dua, sebetulnya berat bagi kami, terutama saya untuk melepas Wafa ke pesantren. Begitu banyak kekhawatiran yang saya pikirkan. Bagaimana kalau dia sakit, ada pelajaran yang tidak dimengerti, dan sebagainya. Kami pun berkali-kali mengajak Wafa ngobrol. Kami ingin tahu apa yang menyebabkan ia ingin masuk pesantren, bukan sekadar ikut teman. Kami juga paparkan seperti apa kehidupan di asrama nanti.

“Kak, nanti di asrama Kakak nggak bisa request sarapan kaya di rumah. Semua harus dikerjain sendiri. Bangunnya rata-rata jam 3 pagi.”
“Iya, Nun. Nggak apa-apa…”
“Kalo Kakak sakit? Unun khawatir, Kak”
“In syaa Allah aku sehat, Nun”
“Kalo alasan Kakak karena mau hapal Qur’an, kan bisa lanjut LTQ (Lembaga Tahfidz Qur’an dekat rumah) …”
“Nanti banyak godaannya, Nun. Lagian aku mau tambah pengalaman. Kayanya seru tinggal di asrama.”
“Trus nanti nulisnya gimana? Belum tentu pesantren yang Kakak masukin  kasih izin bawa laptop?”
“Emang nggak boleh ya, Nun?”
“Ya tergantung pesantrennya. Kalo nggak boleh?”
“Ya aku nulisnya pas liburan atau tulis tangan di buku,”

Itulah sekilas obrolan saya dengannya saat itu. Semua pahit-pahitnya masuk asrama sudah saya sampaikan dan Wafa sampai saat itu masih tetap pada pendiriannya.

Melihat keinginannya yang kuat, saya terus membiasakannya mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci, menyetrika, dan yang berkaitan dengan dirinya sebagai perempuan, terutama persiapan kalau nanti dia menstruasi.

Kami pun mulai survey ke beberapa pesantren/boarding school yang masih bisa ditempuh bolak balik dalam satu kali perjalanan; As Syifa Boarding School di Subang, Al Kahfi di Sukabumi, Nurul Fikri Anyer, Ibnu Abbas, Yapidh di Jatiasih, dan beberapa sekolah lain. Kami ikutsertakan Wafa setiap kali survey supaya dia lihat sendiri calon sekolahnya.
Alhamdulillah, Wafa diterima di BS pilihannya. Tentu ada beberapa pertimbangan yang kami lihat memasukkan Wafa ke sana. (In syaa Allah nanti saya tulis di tulisan terpisah, ya).


Awal Masuk Asrama

Meskipun kami sudah mengajarkan Wafa banyak hal namun tentu kehidupan di rumah tak sama dengan di asrama. Di rumah, kami memang masih kesulitan membiasakan Wafa bangun jam 3. Sementara di asrama, dia sudah harus bangun, mandi, sholat, persiapan tahfidz sebelum Subuh. Tak jarang Wafa tertidur di kelas. Alhamdulillah, para guru tidak marah dan memahami betul bahwa anak-anak masih dalam masa adaptasi.

Seminggu sekali kami masih menjenguk Wafa, lalu berkurang menjadi dua minggu sekali. Dua bulan pertama semua berjalan cukup baik. Komunikasi via telpon sesuai jadwal seminggu sekali juga kami lakukan. Begitu juga komunikasi dengan Bunda asrama. Alhamdulillah, waktu kelas 7, Wafa dapat bunda asrama yang baik sekali, saya pun tenang.

Tantangan kami hadapi ketika masa ulangan harian dimulai. Terlebih ketika matpel Fisika harus remedial. Wafa begitu khawatir. Wafa juga masih harus membiasakan diri untuk menghapal beberapa baris Qur’an setiap harinya. Ia belum terbiasa.

“Nun, aku bisa nggak ya … Aku khawatir … “

Sore itu, saat kami datang menjenguk, Wafa menumpahkan semua kekhawatirannya.

Saya berusaha untuk tidak ikut menangis. Meski dalam hati pun saya khawatir dan tidak tega melihat dia begitu sedih.

Meskipun dari sejak SD Wafa paham bahwa kami tidak pernah marah kalau Wafa dapat nilai kurang baik terutama untuk matpel yang banyak hitung-hitungan karena dari dulu ia memang lebih kuat di matpel bahasa, seni dan sosial. Apalagi untuk pelajaran yang tergolong baru seperti Fisika dan cukup banyak siswa yang remedial.

Cukup panjang kami mengobrol. Yang jelas, kami meminta Wafa untuk membuang segala kekhawatiran dan berpikir positif.

“Kakak mau pulang?” tanya saya.
Wafa menggeleng.
“Aku seneng di sini, Nun,”
“Kalo gitu kita lihat satu semester ini ya. Tapi Unun yakin Kakak bisa sepanjang Kakak yakin dan mau berusaha.”

Alhamdulillah, dalam satu semester, nilai-nilai akademiknya memuaskan dan mulai terbiasa dengan kehidupan asrama. Bahkan ia mulai aktif organisasi BEM (Badan Eksekutif Murid seperti OSIS) dan mulai mewakili sekolahnya untuk ikut lomba storytelling.

Kalau awal-awal masuk sekolah, Wafa yang meminta kami untuk sering jenguk, sejak dia ikut organisasi kami yang menyesuaikan jadwalnya.  Bahkan pernah, kami tidak bisa menengok dia selama 1,5 bulan karena hampir tiap pekan dia ada kegiatan. Hahaha …

Syukurlah Wafa sudah senang dengan kehidupan asrama. Katanya, sih, sudah jarang nangis kangen rumah hehehe … Beda sama ibunya, yang sampai sekarang, iya sampai sekarang anaknya sudah kelas 9, masih suka nangis. Terlebih sesudah libur panjang seperti saat ini. Tapi sekarang sudah agak lumayan sih. Dulu, awal-awal masuk BS, masak makanan kesukaan Wafa, nangis. Lihat anak SMP berjilbab di jalan, nangis. Tiap habis jenguk, nangis. Lebay lah pokoknya.

Sekarang, melihat perkembangan Wafa, in syaa Allah ini yang terbaik untuk Wafa karena dalam diterimanya Wafa di BS pilihannya, tentu tidak terlepas dari izin Allah Swt. Apalagi ketika saya lihat, di Qur’annya, ada foto kami sekeluarga plus tulisan tangannya “Target utama: bawa mereka ke surga.” Ya Robb, nyess banget bacanya …

Maka setiap kali saya kangen, saya selalu ingat bahwa Wafa sedang berjuang agar kelak menjadi seorang muslimah yang membanggakan, generasi penerus berakhlak baik.
   

Selamat berjuang, Anakku. Kita akan selalu bertemu dalam doa … 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar