Sejak kelas V SD puteri pertama
kami mulai menunjukkan keinginannya untuk melanjutkan ke pesantren/boarding
school. Dengan anak hanya dua, sebetulnya berat bagi kami, terutama saya untuk
melepas Wafa ke pesantren. Begitu banyak kekhawatiran yang saya pikirkan.
Bagaimana kalau dia sakit, ada pelajaran yang tidak dimengerti, dan sebagainya.
Kami pun berkali-kali mengajak Wafa ngobrol. Kami ingin tahu apa yang
menyebabkan ia ingin masuk pesantren, bukan sekadar ikut teman. Kami juga
paparkan seperti apa kehidupan di asrama nanti.
“Kak, nanti di asrama Kakak nggak
bisa request sarapan kaya di rumah. Semua harus dikerjain sendiri. Bangunnya
rata-rata jam 3 pagi.”
“Iya, Nun. Nggak apa-apa…”
“Kalo Kakak sakit? Unun khawatir,
Kak”
“In syaa Allah aku sehat, Nun”
“Kalo alasan Kakak karena mau
hapal Qur’an, kan bisa lanjut LTQ (Lembaga Tahfidz Qur’an dekat rumah) …”
“Nanti banyak godaannya, Nun.
Lagian aku mau tambah pengalaman. Kayanya seru tinggal di asrama.”
“Trus nanti nulisnya gimana?
Belum tentu pesantren yang Kakak masukin kasih izin bawa laptop?”
“Emang nggak boleh ya, Nun?”
“Ya tergantung pesantrennya. Kalo
nggak boleh?”
“Ya aku nulisnya pas liburan atau
tulis tangan di buku,”
Itulah sekilas obrolan saya
dengannya saat itu. Semua pahit-pahitnya masuk asrama sudah saya sampaikan dan
Wafa sampai saat itu masih tetap pada pendiriannya.
Melihat keinginannya yang kuat,
saya terus membiasakannya mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci,
menyetrika, dan yang berkaitan dengan dirinya sebagai perempuan, terutama
persiapan kalau nanti dia menstruasi.
Kami pun mulai survey ke beberapa
pesantren/boarding school yang masih bisa ditempuh bolak balik dalam satu kali
perjalanan; As Syifa Boarding School di Subang, Al Kahfi di Sukabumi, Nurul
Fikri Anyer, Ibnu Abbas, Yapidh di Jatiasih, dan beberapa sekolah lain. Kami
ikutsertakan Wafa setiap kali survey supaya dia lihat sendiri calon sekolahnya.
Alhamdulillah, Wafa diterima di
BS pilihannya. Tentu ada beberapa pertimbangan yang kami lihat memasukkan Wafa
ke sana. (In syaa Allah nanti saya tulis di tulisan terpisah, ya).
Awal Masuk Asrama
Meskipun kami sudah mengajarkan
Wafa banyak hal namun tentu kehidupan di rumah tak sama dengan di asrama. Di
rumah, kami memang masih kesulitan membiasakan Wafa bangun jam 3. Sementara di
asrama, dia sudah harus bangun, mandi, sholat, persiapan tahfidz sebelum Subuh.
Tak jarang Wafa tertidur di kelas. Alhamdulillah, para guru tidak marah dan
memahami betul bahwa anak-anak masih dalam masa adaptasi.
Seminggu sekali kami masih
menjenguk Wafa, lalu berkurang menjadi dua minggu sekali. Dua bulan pertama
semua berjalan cukup baik. Komunikasi via telpon sesuai jadwal seminggu sekali
juga kami lakukan. Begitu juga komunikasi dengan Bunda asrama. Alhamdulillah,
waktu kelas 7, Wafa dapat bunda asrama yang baik sekali, saya pun tenang.
Tantangan kami hadapi ketika masa
ulangan harian dimulai. Terlebih ketika matpel Fisika harus remedial. Wafa begitu
khawatir. Wafa juga masih harus membiasakan diri untuk menghapal beberapa baris
Qur’an setiap harinya. Ia belum terbiasa.
“Nun, aku bisa nggak ya … Aku
khawatir … “
Sore itu, saat kami datang
menjenguk, Wafa menumpahkan semua kekhawatirannya.
Saya berusaha untuk tidak ikut
menangis. Meski dalam hati pun saya khawatir dan tidak tega melihat dia begitu
sedih.
Meskipun dari sejak SD Wafa paham
bahwa kami tidak pernah marah kalau Wafa dapat nilai kurang baik terutama untuk
matpel yang banyak hitung-hitungan karena dari dulu ia memang lebih kuat di
matpel bahasa, seni dan sosial. Apalagi untuk pelajaran yang tergolong baru
seperti Fisika dan cukup banyak siswa yang remedial.
Cukup panjang kami mengobrol.
Yang jelas, kami meminta Wafa untuk membuang segala kekhawatiran dan berpikir
positif.
“Kakak mau pulang?” tanya saya.
Wafa menggeleng.
“Aku seneng di sini, Nun,”
“Kalo gitu kita lihat satu
semester ini ya. Tapi Unun yakin Kakak bisa sepanjang Kakak yakin dan mau
berusaha.”
Alhamdulillah, dalam satu semester,
nilai-nilai akademiknya memuaskan dan mulai terbiasa dengan kehidupan asrama.
Bahkan ia mulai aktif organisasi BEM (Badan Eksekutif Murid seperti OSIS) dan
mulai mewakili sekolahnya untuk ikut lomba storytelling.
Kalau awal-awal masuk sekolah,
Wafa yang meminta kami untuk sering jenguk, sejak dia ikut organisasi kami yang
menyesuaikan jadwalnya. Bahkan pernah,
kami tidak bisa menengok dia selama 1,5 bulan karena hampir tiap pekan dia ada
kegiatan. Hahaha …
Syukurlah Wafa sudah senang
dengan kehidupan asrama. Katanya, sih, sudah jarang nangis kangen rumah hehehe …
Beda sama ibunya, yang sampai sekarang, iya sampai sekarang anaknya sudah kelas
9, masih suka nangis. Terlebih sesudah libur panjang seperti saat ini. Tapi
sekarang sudah agak lumayan sih. Dulu, awal-awal masuk BS, masak makanan
kesukaan Wafa, nangis. Lihat anak SMP berjilbab di jalan, nangis. Tiap habis
jenguk, nangis. Lebay lah pokoknya.
Sekarang, melihat perkembangan
Wafa, in syaa Allah ini yang terbaik untuk Wafa karena dalam diterimanya Wafa
di BS pilihannya, tentu tidak terlepas dari izin Allah Swt. Apalagi ketika saya
lihat, di Qur’annya, ada foto kami sekeluarga plus tulisan tangannya “Target
utama: bawa mereka ke surga.” Ya Robb, nyess banget bacanya …
Maka setiap kali saya kangen,
saya selalu ingat bahwa Wafa sedang berjuang agar kelak menjadi seorang
muslimah yang membanggakan, generasi penerus berakhlak baik.
Selamat berjuang, Anakku. Kita
akan selalu bertemu dalam doa …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar