Kamis, 07 April 2016

LGBT Ditinjau dari Aspek Neuropsikologi

(Ditulis berdasarkan paparan pemateri Dr. Ihsan Gumilar, pada ToT “Selamatkan Generasi Emas Indonesia”, 30 Maret 2016 di Kampus UNJ, kerjasama Rumah Parenting Yayasan Kita dan Buah Hati dan Pusat Studi Wanita UNJ)

Menurut ilmu neuroplasticity, otak dapat terus berkembang, fungsi dan struktur dapat berubah sesuai dengan perilaku dan pengalaman yang pemiliknya lakukan. Susunan saraf akan mengenali apa kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan pemiliknya. Bahkan dapat otak dapat merespon dan menyiapkan sesuatu yang dipikirkan atau diniatkan oleh pemiliknya.  

Ketika ada seorang laki-laki yang berprilaku seperti seorang perempuan dan didukung oleh lingkungan sekitarnya, otak akan menangkap sinyal tersebut. Konsep dirinya pun dapat berubah dan bukan tidak mungkin lambat laun ia akan merasa bahwa dirinya adalah perempuan. Terlebih jika ia banyak bergaul dengan pelaku homoseksual dan transgender.

Faktor-faktor  yang membentuk seseorang menjadi homoseksual memang ada yang disadari dan tidak. Bisa jadi karena pola pengasuhan yang kurang tepat atau pernah menjadi korban dari kejahatan seksual.

Catatan Penulis:

Dari paparan di atas, penting bagi orangtua untuk memerhatikan anak-anaknya. Mengenalkan anak akan jenis kelaminnya dan aktivitas-aktivitas penunjang. Saya teringat dengan seorang anak laki-laki (saat itu usianya masih SD). Ia senang bermain masak-masakan dengan teman-teman perempuan.

Oleh teman-temannya yang laki-laki, ia kerap dipanggil bencong.
“Ih, bencong! Mainannya masak-masakan!”

Meskipun saya bukan ibunya, namun ada kekhawatiran jika ucapan dari teman-temannya dapat mengubah konsep dirinya.
Saat itu saya panggil teman-teman yang mengatainya dan mengajak mereka bicara karena bisa jadi mereka tidak menyadari dampak dari apa yang mereka ucapkan.


Mulai dari diri kita sendiri, ayo kita selamatkan generasi emas Indonesia! 

1 komentar:

  1. Bunda, jadi homoseksual bisa timbul karena kebiasaan ya? Serem juga ya bun :(

    BalasHapus