(Ditulis berdasarkan paparan
pemateri Dr. Ihsan Gumilar, pada ToT “Selamatkan Generasi Emas Indonesia”, 30
Maret 2016 di Kampus UNJ, kerjasama Rumah Parenting Yayasan Kita dan Buah Hati
dan Pusat Studi Wanita UNJ)
Menurut ilmu neuroplasticity, otak dapat terus berkembang, fungsi dan struktur
dapat berubah sesuai dengan perilaku dan pengalaman yang pemiliknya lakukan.
Susunan saraf akan mengenali apa kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan pemiliknya.
Bahkan dapat otak dapat merespon dan menyiapkan sesuatu yang dipikirkan atau
diniatkan oleh pemiliknya.
Ketika ada seorang laki-laki yang
berprilaku seperti seorang perempuan dan didukung oleh lingkungan sekitarnya,
otak akan menangkap sinyal tersebut. Konsep dirinya pun dapat berubah dan bukan
tidak mungkin lambat laun ia akan merasa bahwa dirinya adalah perempuan.
Terlebih jika ia banyak bergaul dengan pelaku homoseksual dan transgender.
Faktor-faktor yang membentuk seseorang menjadi homoseksual
memang ada yang disadari dan tidak. Bisa jadi karena pola pengasuhan yang
kurang tepat atau pernah menjadi korban dari kejahatan seksual.
Catatan Penulis:
Dari paparan di atas, penting
bagi orangtua untuk memerhatikan anak-anaknya. Mengenalkan anak akan jenis
kelaminnya dan aktivitas-aktivitas penunjang. Saya teringat dengan seorang anak
laki-laki (saat itu usianya masih SD). Ia senang bermain masak-masakan dengan
teman-teman perempuan.
Oleh teman-temannya yang
laki-laki, ia kerap dipanggil bencong.
“Ih, bencong! Mainannya
masak-masakan!”
Meskipun saya bukan ibunya, namun
ada kekhawatiran jika ucapan dari teman-temannya dapat mengubah konsep dirinya.
Saat itu saya panggil teman-teman
yang mengatainya dan mengajak mereka bicara karena bisa jadi mereka tidak menyadari dampak dari apa yang mereka ucapkan.
Mulai dari diri kita sendiri, ayo
kita selamatkan generasi emas Indonesia!
Bunda, jadi homoseksual bisa timbul karena kebiasaan ya? Serem juga ya bun :(
BalasHapus