ToT SEMAI #1
(Ditulis berdasarkan paparan Dr. Ihsan Gumilar, pakar neuropsikologi
dalam Training of Trainers SEMAI, di kampus UNJ, 30 Maret 2016)
Untuk menentukan apakah
gejala-gejala yang dirasakan oleh seseorang dapat dikategorikan sebagai sebuah
penyakit gangguan mental, psikolog maupun psikiater umumnya akan mengacu pada
buku pegangan yang dinamakan DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders), yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (APA).
Di dalam DSM-5, perilaku
homosesual tidak tercantum di dalam buku tersebut. Namun, melihat perjalanan
buku pegangan tersebut, ada hal penting yang perlu dicermati.
Sebagai sebuah buku pegangan,
maka setiap perubahan (revisi) yang dilakukan mulai dari DSM-1 hingga DSM-5,
sudah sepatutnya melalui penelitian yang memenuhi syarat.
Di dalam DSM-1 dan DSM-2,
homoseksual sebenarnya ada di dalam kategori penyakit gangguan mental. Namun
saat itu, sekitar tahun 1970-an di Amerika Serikat, gerakan feminisme yang
semakin meningkat juga disertai dengan tuntutan dari aktivis LGBT yang meminta
persamaan hak. Mereka menginginkan agar ‘homoseksual’ dicabut dari DSM.
Akhirnya, dibentuklah sebuah komite untuk menentukan apakah homoseksual
termasuk penyakit mental atau bukan.
Tanpa sebuah penelitian, hanya
berdasarkan voting, perubahan besar terjadi di dalam DSM-2 cetakan keenam. Agar
tidak terlalu menggegerkan, perlahan-lahan, dari mulai DSM-2 hingga sekarang,
beberapa perubahan dilakukan terkait dengan penyakit homoseksual:
DSM-2 Revised (1973) : Homoseksual
dianggap sebagai sexual orientation
disturbance (ada gangguan).
DSM-3 (1980) : Ego-dystonic homosexuality; kalau
penderita merasa tidak nyaman baru dapat dikategorikan sebagai penyakit. Ini
yang banyak dipakai oleh psikolog.
DSM-3 Revised (1987) : sexual disorder not otherwise specified;
dikategorikan sebagai penyakit yang tidak dikenal (unknown disease)
DSM-4 (1994) : kata homoseksual
sebagai penyakit gangguan mental dihilangkan dari buku DSM tersebut.
Selain itu, meskipun pelaku
homoseksual tidak menunjukkan gejala penyakit mental pada umumnya, seperti
tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari, untuk mempertimbangkan apakah itu
digolongkan penyakit atau bukan harus melihat di mana kultur penyakit itu
berada. Aspek kultur termasuk agama perlu dipertimbangkan. Dengan demikian,
jika di Indonesia semua agama telah melarang homoseksual dan transgender,
pelaku LGBT perlu disembuhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar