Rabu, 06 April 2016

Benarkah Perilaku Homoseksual Bukan Sebuah Penyakit Gangguan Mental?

ToT SEMAI #1

(Ditulis berdasarkan paparan Dr. Ihsan Gumilar, pakar neuropsikologi dalam Training of Trainers SEMAI, di kampus UNJ, 30 Maret 2016)

Untuk menentukan apakah gejala-gejala yang dirasakan oleh seseorang dapat dikategorikan sebagai sebuah penyakit gangguan mental, psikolog maupun psikiater umumnya akan mengacu pada buku pegangan yang dinamakan DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders), yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (APA).

Di dalam DSM-5, perilaku homosesual tidak tercantum di dalam buku tersebut. Namun, melihat perjalanan buku pegangan tersebut, ada hal penting yang perlu dicermati.
Sebagai sebuah buku pegangan, maka setiap perubahan (revisi) yang dilakukan mulai dari DSM-1 hingga DSM-5, sudah sepatutnya melalui penelitian yang memenuhi syarat.

Di dalam DSM-1 dan DSM-2, homoseksual sebenarnya ada di dalam kategori penyakit gangguan mental. Namun saat itu, sekitar tahun 1970-an di Amerika Serikat, gerakan feminisme yang semakin meningkat juga disertai dengan tuntutan dari aktivis LGBT yang meminta persamaan hak. Mereka menginginkan agar ‘homoseksual’ dicabut dari DSM. Akhirnya, dibentuklah sebuah komite untuk menentukan apakah homoseksual termasuk penyakit mental atau bukan.

Tanpa sebuah penelitian, hanya berdasarkan voting, perubahan besar terjadi di dalam DSM-2 cetakan keenam. Agar tidak terlalu menggegerkan, perlahan-lahan, dari mulai DSM-2 hingga sekarang, beberapa perubahan dilakukan terkait dengan penyakit homoseksual:
DSM-2 Revised (1973) : Homoseksual dianggap sebagai sexual orientation disturbance (ada gangguan).
DSM-3 (1980) : Ego-dystonic homosexuality; kalau penderita merasa tidak nyaman baru dapat dikategorikan sebagai penyakit. Ini yang banyak dipakai oleh psikolog.
DSM-3 Revised (1987) : sexual disorder not otherwise specified; dikategorikan sebagai penyakit yang tidak dikenal (unknown disease)
DSM-4 (1994) : kata homoseksual sebagai penyakit gangguan mental dihilangkan dari buku DSM tersebut.


Selain itu, meskipun pelaku homoseksual tidak menunjukkan gejala penyakit mental pada umumnya, seperti tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari, untuk mempertimbangkan apakah itu digolongkan penyakit atau bukan harus melihat di mana kultur penyakit itu berada. Aspek kultur termasuk agama perlu dipertimbangkan. Dengan demikian, jika di Indonesia semua agama telah melarang homoseksual dan transgender, pelaku LGBT perlu disembuhkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar