Minggu, 14 Juni 2015

Menerapkan Aturan untuk Anak

Minggu, 7 Juni 2015 lalu, saya diundang menjadi pembicara di acara “Smart Parents, Smart Kids”. Acara yang  digagas oleh Duta Indonesia Pintar--yang merupakan mahasiswa-mahasiswi Universitas Mercu Buana-- ini berlangsung di Mal Cipinang Indah, Jakarta Timur. Pada kesempatan tersebut, saya berbagai tentang prinsip menerapkan aturan untuk anak.

Seiring dengan bertambahnya usia anak, mereka perlu diajarkan mengenai aturan. Hal ini penting sehingga anak memahami bahwa ada kewajiban yang perlu ia lakukan dan tidak semaunya sendiri. Aturan yang diajarkan tentu perlu disesuaikan dengan kemampuan anak; dari hal-hal sepele seperti menjemur handur setiap kali habis mandi, meletakkan kembali barang-barang yang sudah dipakai ke tempat semula, dan sebagainya.

Namun tak jarang, banyak orangtua yang mengeluh karena anak tidak mau menuruti aturan yang sudah diberikan. Nah, bagaimana ya agar anak mau diajak bekerjasama?

Pertama, aturan akan lebih mudah dipatuhi jika antara orangtua dan anak sama-sama menyepakatinya. Agar anak mau menyepakatinya, sebagai orangtua kita perlu menyampaikan apa yang kita inginkan atau harapkan dari anak. Seringkali, aturan sulit dilakukan karena masing-masing memiliki pemikirannya sendiri-sendiri dan tidak diungkapkan. Misal, soal waktu main. Ada orangtua yang membuat jadwal bermain anak karena khawatir anaknya terlalu kelelahan dan jika sudah begitu akan memengaruhi kesehatannya. Sedangkan, bagi anak, bermain sangat menyenangkan. Ia tidak mengetahui kekhawatiran orangtua. Bisa jadi yang ada di pikirannya, kenapa sih Mama punya banyak aturan? Kenapa aku nggak boleh bermain? Sehingga, supaya anak memahami, orangtua perlu menyampaikan.

“Kak, Bunda seneng kalo Kakak main bola sama temen-temen. Kakak boleh main bola. Tapi dokter bilang kan Kakak nggak boleh terlalu capek dulu. Gimana kalau kita sepakatin waktu mainnya?”

Kedua, konsisten dengan aturan yang sudah kita buat. Misal, waktu menonton TV.  Kalau kita sudah menyepakati menonton TV hanya satu jam per hari, jalani. Seringkali kita mudah tergoda dengan rengekan atau tatapan sedih anak. Saat awal aturan dibuat, sangat mungkin terjadi, anak masih belum terbiasa sehingga lupa melakukannya. Itu hal yang wajar. Tugas kita adalah terus menyemangati dan mengingatkan dengan berbagai cara.  

Ketiga, beri solusi. Banyak orangtua menahan agar anaknya tidak jajan, tidak menonton TV namun tidak memberikan solusi. Anak jajan bisa jadi karena ia mudah lapar, sehingga solusinya, siapkan camilan yang cukup di rumah. Anak menonton karena dia merasa tidak ada yang dikerjakannya, solusinya, berikan buku, peralatan yang menunjang hobinya, atau kegiatan lain.  

Keempat, jadi contoh. Mengharapkan anak tidak menonton sinetron tapi kita pun menontonnya saat anak ada di rumah? Saya yakin anak akan mudah menjawab, “Mama sendiri nonton sinetron,” :D

Kelima, satu suara antara Ayah dan Bunda. Jangan sampai, ibu tidak membolehkan, tapi ayah membolehkan. Kata bunda, pokoknya nggak boleh naik motor sampai kamu punya SIM.” Kata ayah, “Boleh naik motor, tapi jangan jauh-jauh, ya.” Anak jadi bingung, boleh apa nggak sih sebetulnya?
Satu suara juga perlu dilakukan oleh pengasuh dan keluarga yang ada di dalam rumah.


Mau tahu lebih banyak tentang komunikasi dalam pengasuhan anak? Tunggu buku solo saya ya :D

Salam hangat, 
Aprilina Prastari

2 komentar: