Kamis, 18 September 2014

WM Vs SHM: Apapun Pilihannya, Lakukan dengan Bahagia!


Tak jarang saya mendengar kalimat ini dari beberapa ibu (stay-at-home mom/SHM):

 “Enak ya, Bu, bisa kerja, punya penghasilan sendiri...”
“Saya bosen di rumah. Yang didenger cuma anak nangis,”
“Udah kuliah capek-capek, ujungnya ngurusin anak juga”

              Di sisi lain, saya mendengar beberapa kalimat ini dari ibu bekerja:
“Enak ya yang di rumah. Nggak pusing kalo ART pulang, bisa ngurusin dari pagi sampe malem kalo anak sakit”
“Pusing nih gue. Di kantor bete sama bos di rumah anak gue rewel. Capeeeek”

              Selalu. Selalu ada konsekuensi dari setiap pilihan.

Kenapa saya di rumah?

Untuk Bunda yang memutuskan menjadi SHM, pernahkah bertanya pada diri sendiri kenapa saya di rumah? Apakah dari hati yang paling dalam? Bukan karena paksaan dari suami? Kalau memang permintaan suami, apakah ikhlas melakukannya?
Sebagai seorang isteri, tentu meminta izin suami adalah keharusan. Tapi, sudahkah kita memahami hal-hal hebat apa yang akan kita lakukan dan hasilkan jika di rumah? Sudahkah merencanakan apa yang akan kita lakukan di rumah agar tidak melulu jenuh?

Saya paham bagaimana sibuknya seorang ibu di rumah. Sebelum Subuh, Bunda sudah harus bangun, menyiapkan sarapan dan bekal sekolah anak-anak. Sore hari, Bunda masih punya waktu untuk bermain, mengajarkan PR, mengantar les musik atau keterampilan lain, hingga bakatnya bisa tersalurkan dengan baik.

Bukankah suatu kebahagiaan ketika anak mengatakan, “aku suka masakan Bunda,” atau dengan bangga dia cerita ke teman-temannya, “aku jago main piano karena diajarin mamaku, lho.”

Kenapa Saya Bekerja?

Untuk bunda bekerja, pernahkah kita merenung, kenapa saya bekerja?
Apakah karena hanya sayang ijazah dan tak mau hanya di rumah?
Atau keinginan membantu suami memenuhi kebutuhan keluarga? Mencicil rumah, misalnya?

Saya paham betapa beratnya menjadi ibu bekerja. Sebelum Subuh, sudah harus bangun lalu memberikan instruksi kepada ART apa yang harus dimasak, lalu menyempatkan untuk bermain dan menyiapkan keperluan anak (mandi, mengecek keperluan sekolah).
Siang hari, di sela-sela meeting dengan klien, Bunda harus menjawab telpon dari anak, menanyakan kabar mereka, bagaimana di sekolah. Dan malam hari, Bunda masih harus menyempatkan diri membacakan buku cerita untuk mereka sebelum tidur. Padahal, sebelumnya Bunda harus berjuang melewati kemacetan Jakarta. Belum lagi kalau anak sakit atau (yang paling seru) selesai libur lebaran, ART atau pengasuh belum kembali.
Namun, segala kelelahan Bunda, In syaa Allah akan diingat oleh suami, sebagai rasa sayang, rasa peduli, untuk bersama-sama mencapai harapan. Memulai rumah tangga dari nol hingga ada saatnya nanti Bunda akan kembali penuh di rumah. Begitu juga dengan anak-anak. Mereka akan melihat Bunda sebagai ibu yang pandai mengatur waktu, tetap dekat dengan keluarga.

 Apapun yang kemudian kita jalani sesudah menikah, lakukan dengan tujuan dan rencana. Kedua hal itu yang akan membuat kita nyaman dan bersemangat. 
Untuk SHM, memiliki tujuan dan rencana akan menjauhkan kita dari rasa jenuh, rasa tidak diakui, merasa diri tidak berarti. Untuk WM, mengurangi perasaan bersalah, dan bahagia meski bekerja. 
“Saya mau bekerja hingga cicilan rumah lunas, setelah itu mau usaha dari rumah.”
“Meski saya di rumah tapi saya akan tetap mengembangkan kemampuan saya berbahasa Inggris dengan mengajar di rumah, dan akan tetap berorganisasi, sambil menulis.”

Berhentilah mengasihani diri sendiri. Berhentilah merasa bahwa menjadi ibu bekerja lebih enak dari ibu penuh waktu dan begitu juga sebaliknya. Dan berhentilah menyindir atau bersikap nyiyir terhadap pilihan ibu lain.

Apapun yang kita pilih, jalani dengan bahagia.


Salam
Aprilina Prastari

Penulis buku “Happy Working Mom” dan “Nikah Muda Nggak Bikin Mati Gaya”



(In syaa Allah, tulisan saya berikutnya: “Sudah Saatnyakah Saya Berhenti Kerja Kantoran?”)

2 komentar: