Kamis, 17 Agustus 2017

Sahabatku, Pasanganku


Image: Unsplash.com


Rabu (16/8) lalu saya menghadiri Women’s Leadership & Empowerment Conference 2017. Salah satu topik yang cukup banyak didiskusikan, soal kesuksesan dalam membagi peran antara karier dan keluarga. President Director Avrist, Burton Lai bilang, key challenge nomor 2 dalam kesuksesan berkarier adalah berdamai dengan ego suami.
Tidak semua suami merasa nyaman melihat karier isterinya lebih tinggi, penghasilannya lebih tinggi, sibuk di luar, dan sebagainya. Makanya, ini jadi tantangan bagi isteri untuk menyeimbangkan itu semua. Nggak mentang-mentang penghasilan atau jabatannyanya tinggi lalu jadi jumawa dan mengabaikan hak-hak suami dan anak-anak.
Hal sepele deh. Membuatkan teh buat suami di pagi hari. Bukan karena kita bekerja lalu cuek dengan hal-hal semacam ini. Buat saya sendiri, ketika kita menikah, soal rezeki bisa datang dari mana saja; bisa dari suami dan isteri. Kalau isteri memiliki penghasilan lebih dari suaminya, saya percaya, ada doa dan keridhoan suami di dalamnya.
Saya mau cerita sedikit pengalaman kami berdua sebagai pasangan yang keduanya bekerja. In syaa Allah Oktober nanti usia pernikahan kami 16 tahun. Selama 16 tahun itu saya bekerja (meskipun nggak semua sebagai karyawati tetap yang berangkat pagi-pulang malam, tapi juga project-based freelancer).


Selama itu juga, nggak semua hal berjalan mulus. Beberapa kali kami nggak punya ART/pengasuh. Apalagi waktu jadi karyawati fulltime dan anak-anak masih kecil. Saya dan suami bergantian cuti sambil cari pengasuh. Ketika sudah dapat, minta tolong ke Eyangnya anak-anak untuk memantau selama seminggu.
Soal jarak rumah-kantor yang jauh itu juga jadi tantangan sendiri. Saya pernah berkantor di Grogol sementara rumah di Pondok Gede. Yang tinggal di Jakarta dan sering melewati jalur neraka (MT Haryono-Slipi) pasti kebayang ya berapa lama saya harus menghabiskan waktu di jalan. Dan menghabiskan waktu lama di jalan untuk seorang ibu memang luar biasa melelahkan. Bagaimanapun, ketika ibu pulang kerja, ada anak-anak di rumah yang menunggu minta dibacain cerita, tanya PR matematika, curhat soal temannya, dan sebagainya. Stress di jalan bukan nggak mungkin berpengaruh pada kondisi ibu.  
Makanya, ketika dapat kantor yang jauh, kami harus atur cara supaya nggak stress banget menghadapi kemacetan itu. Tiga bulan pertama kerja di daerah Grogol, akhirnya saya punya tips supaya bisa berdamai dengan kemacetan dan dalam satu hari masih punya waktu main sama anak. Waktu itu kondisinya, saya nggak bisa minta suami jemput terus ke kantor. Jadi kami menyiasatinya begini. Pulang kantor, saya naik bus dari pemberhentian terakhir sehingga bus kosong dan saya bisa duduk di barisan depan pojok. Selama perjalanan 1,5 jam itu saya tidur. Bangun di MT Haryono, janjian sama suami di Cawang, baru pulang sama-sama. Sampai rumah saya masih cukup segar untuk bisa bacain cerita sebelum mereka tidur. Atau kalau mereka sudah tidur, saya ganti jadwal mainnya ke pagi hari.
Tantangan berikutnya kalau nggak ada ART.
Berhubung dari anak-anak bayi sampai sekarang hanya kami berdua yang mengurus mereka dan ketika kami kerja, kami mengandalkan pengasuh (bukan titip ke orangtua) jadi kalau nggak ada ART atau pengasuh, ini PR berat. Untungnya itu terjadi beberapa tahun terakhir ketika anak-anak sudah mulai besar dan sekolah IT (full day). Untuk menyiasatinya, masing-masing dari kami, termasuk anak-anak, punya tugas rumah yang harus diselesaikan.
Alhamdulillah. Saya nggak mungkin bisa menjalani peran ini semua tanpa bantuan, dukungan, ridho dan doa suami. Yang pulang kantor masih mau nyuci baju, yang waktu anak-anak bayi nggak jijik gantiin popok sehabis mereka pup, yang mau gantian bacain dongeng meski kalau sudah ngantuk bisa ganti cerita ke Liverpool (hueheuhuhu).
Thank you so much, Yah. Bismillah. Semoga kita bisa terus menjaganya.
Bersyukurlah para isteri yang memiliki suami yang menjadi pendukung utama di rumah. Terima kasih untuk para suami yang sudah mendukung isterinya.  

Seperti yang saya tulis di buku “Nikah Muda Nggak Bikin Mati Gaya”, pasanganmu bukan rivalmu. Pasanganmu, sahabatmu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar