Jumat, 24 Oktober 2014

Novel KKJD "Delman Merah Jambu"

"Delman Merah Jambu"
Aprilina Prastari

Bab 1
Peraturan yang Menakutkan

            Alva mempercepat langkahnya. Wajahnya sedikit cemberut.  Tadi pagi dia bangun kesiangan. Biasanya, anak kelas VI SD itu sudah bangun saat adzan Subuh berkumandang lalu sholat berjamaah bersama Ayah dan Kak Sarah. Tapi, berhubung Ayah sedang ke luar kota, Alva jadi kesiangan. Lho, apa hubungannya? Ada, dong! Soalnya Alva cuma mau bangun pagi kalau Ayah yang membangunkan.
“Ya ampuun, Alva! Belum bangun juga! Kakak harus berangkat jam setengah enam, nih. Nanti Kakak tinggal, ya!” ancam Kak Sarah tadi pagi. Hari itu Kak Sarah ada lomba memasak di sekolahnya, jadi harus berangkat lebih pagi dari biasanya.
“Alva! Ayo bangun!” Kak Sarah kembali membangunkan adik satu-satunya itu. 
Tapi, bukannya langsung bangun, Alva malah menarik selimutnya lagi.
“Aku masih ngantuk, Kak. Whooaam,” kata Alva sambil menguap. Malam sebelumnya, anak bertubuh atletis itu memang tak dapat tidur nyenyak. Sepulang latihan silat, kakinya terkilir sehingga nyeri. Untung Mbok Na, pembantu keluarga mereka, bisa mengurut. Setelah itu, barulah Alva bisa tidur dengan nyenyak.
Sampai Kak Sarah harus berangkat, Alva belum bangun juga. Jadi terpaksa deh, Alva ditinggal. Ia baru bangun ketika Mbok Na mengetuk pintu kamarnya keras-keras.
“Mas Alvaa, Maaas, banguun, sudah jam enam kurang,” teriak Mbok Na dengan logat Jawanya.
“Hah?! Jam enam! Waduh, aku telat, deh!” seru Alva langsung melompat dari tempat tidur.
Selesai mandi dan berpakaian, tanpa sempat sarapan, Alva segera berangkat. Biasanya kalau diantar Kak Sarah naik motor, jarak dari rumah ke sekolah bisa ditempuh selama dua puluh menit tapi kalau tidak diantar, memakan waktu sekitar empat puluh lima menit. Jarak rumah ke sekolah Alva memang cukup jauh. Dari rumah, ia harus naik angkot lalu turun di perempatan kantor pos. Dari situ, ia masih harus berjalan sejauh kurang lebih lima ratus meter.

Sambil berjalan menuju sekolahnya, Alva menendang batu-batu kerikil yang memenuhi jalan. Jalanan di sana memang masih banyak yang belum diaspal. Berbeda dengan sekolah Alva waktu di Yogya dulu. Meski bukan sekolah favorit, tapi bangunannya bagus dan terawat rapi. Jaraknya juga dekat dari rumah. Tinggal jalan kaki lima belas menit, sampai deh. Ah, Alva jadi kangen sekolahnya itu. Selain dekat, jalannya lebih bagus. Alva juga tidak pernah terburu-buru seperti tadi pagi karena ada Ibu yang selalu membangunkannya. Tapi sekarang ...
                                                                        ***
            Sudah delapan bulan Ibu meninggalkan Alva, Kak Sarah dan Ayah. Meninggalkan orang-orang yang Ibu cintai. Setelah dua bulan dirawat di rumah sakit, Ibu berpulang ke Sang Maha Pencipta. Waktu itu, Alva tak bisa berhenti menangis. Dia memang sangat dekat dengan Ibu. Biarpun terlihat mandiri, tapi kalau dengan Ibu, Alva masih suka manja. Saking sedihnya, Alva bahkan pernah tanya pada Allah, kenapa Ibu harus meninggalkannya secepat itu.
“Alva sayang Ibu, kan?” tanya Ayah saat itu.  
Alva mengangguk sambil terus menangis.
“Allah juga sayang Ibu. Allah enggak mau Ibu terus-terusan sakit. Makanya, Allah memanggil Ibu supaya enggak merasa sakit lagi.”
Cukup lama Alva merasa sangat sedih dan kesepian. Biasanya, kalau Alva pulang sekolah, selalu ada Ibu yang membuatkan minuman segar. Kalau dia capek sehabis main bola, Ibu pasti siap dengan minyak zaitun dan minyak kayu putih untuk mengurut kakinya. Tapi sejak enggak ada Ibu ...
“Alva!”
Sebuah suara membuyarkan lamunan Alva. Dilihatnya Randu sedang berlari ke arahnya.
“Hei! Kesiangan juga?” sapa Alva sambil tersenyum.
Bulikku sakit. Jadi aku harus bantu beres-beres rumah dulu,” jawab Randu. Bulik adalah panggilan orang Jawa untuk Tante.
“Eh, kemarin ke mana? Kok ndak masuk?” tanya Randu dengan logat Jawanya yang kental.
“Kurang enak badan. Kakiku terkilir sewaktu latihan silat,” jawabnya. 
Randu mengangguk-angguk. Anak bertubuh gemuk dan berambut ikal itu adalah teman sekelas Alva. Ia anak yang menyenangkan dan suka bergaul dengan siapa saja. Waktu Alva baru pindah ke sekolah itu, Randu, teman pertama yang mengajaknya mengobrol.
Mendekati pukul 7.10 WIB, suasana kelas VI Ceria semakin ramai. O ya, di sekolah ini, tiap kelas memiliki nama-nama yang bisa membuat murid-muridnya semangat. Ada kelas VI Amanah, kelas VI Berani dan VI Ceria. Tak lama setelah bel berbunyi, Pak Gatot, Wali Kelas VI Ceria masuk dan memberitahukan sebuah pengumuman.
“Anak-anak, sebelum memulai pelajaran, ada pengumuman penting yang harus Bapak sampaikan,” kata Pak Gatot di depan kelas.
“Wah, apa, Pak?” tanya Randu bersemangat.
“Kambingnya Randu mau beranak ya, Pak,” celetuk Awan jahil. Awan memang terkenal usil dan mau tahu urusan orang lain. Ayahnya, Pak Karto, adalah pengurus desa sekaligus pemilik kios di pasar.  
Hahahaha.” Seluruh kelas tertawa. Randu cuma bisa cemberut tapi sehabis itu ia kembali tersenyum. Anak berkulit sawo matang itu memang tidak bisa marah lama-lama.   
Pak Gatot tersenyum lalu melanjutkan bicaranya.
“Kemarin, Pak Kepala Sekolah dan guru-guru rapat. Beliau menyampaikan pesan penting dari Pak Kepala Desa,” sejenak Pak Gatot diam. Anak-anak yang semula tertawa ikut diam.
Ada apa ya? Mereka bertanya-tanya dalam hati.  
Pak Gatot menatap murid-muridnya satu per satu.
“Anak-anak, Pak Kades meminta semua anak yang berusia di bawah lima belas tahun, harus sudah berada di rumah sebelum pukul tujuh malam,” Pak Gatot berkata dengan hati-hati.
Anak-anak terdiam. Beberapa di antara mereka melirik ke arah Ilham. Ilham jadi serba salah. Sebagai anak Kepala Desa, ia pun tidak tahu mengapa ayahnya membuat keputusan seperti itu.
Hingga akhirnya, Alva memberanikan diri untuk bertanya.
“Pak Gatot, mengapa kami sudah harus berada di rumah sebelum pukul tujuh?” tanyanya.
Guru santun itu terdiam. Beliau terlihat ragu-ragu menjawabnya. Tiba-tiba, dari arah belakang kelas, Awan bertanya, “Apa ada hubungannya dengan Delman Merah Jambu, Pak?”
“Delman Merah Jambu?” seluruh anak serempak bertanya. Kelas yang semula tenang berubah menjadi gaduh. Mereka saling berpandangan dan bertanya-tanya.
Pak Gatot juga terkejut mendengar ucapan Awan, tapi kemudian berusaha menenangkan siswa-siswinya.  
“Tenang anak-anak... Tenang ... Kita akan membicarakan ini lagi, nanti. Sekarang kita belajar dulu. Bapak harap kalian setuju,” jawab Pak Gatot akhirnya.
Meski terlihat masih sangat penasaran, mereka tidak berani bertanya lebih lanjut. Yang jelas, saat istirahat, mereka langsung mengerubungi Awan.
“Kenapa dengan Delman Merah Jambu, Wan?” tanya Randu.
“Iya, Wan, memang siapa pemiliknya?” kali ini Alva yang bertanya.
“Kenapa harus ditakuti, Wan? Apa ada hantunya?” seorang anak, entah siapa, bertanya dari arah samping.
“Hantu?? Hiii ...” anak-anak perempuan mulai ketakutan.
“Yaa... mana aku tahu ...” jawab Awan santai.
“Huuu!” mereka menyoraki Awan. “Terus, kenapa kamu tadi tanya apa ada hubungannya  sama Delman Merah Jambu?” Randu yang bertanya lagi.
“Semalam, Bapakku dipanggil Pak Kades. Nah, pulangnya, aku mendengar Bapak bercerita ke Ibuku. Katanya, di desa kita ini ada Delman Merah Jambu. Begitu ...” Awan mencoba memberi penjelasan.
“Terus, apa hubungannya sama peraturan baru dari Pak Kades? Kenapa kita sudah harus berada di rumah sebelum jam tujuh?” Alva mencecar Awan.
“Lho, kan tadi aku sudah bilang. Mana aku tahuuu?” lagi-lagi Awan mengelak.  
“Huuuu!” siswa-siswi kelas VI Ceria kembali menyoraki Awan.  
 Tidak mendapat jawaban memuaskan dari Awan, satu per satu anak-anak meninggalkannya. Tak berapa lama kemudian, bel masuk pun berbunyi.

Sepulang sekolah, anak-anak SD Nusa Bakti masih sibuk membicarakan pengumuman dari Pak Kades yang disampaikan oleh wali kelas masing-masing. Mereka masih belum mendapat jawaban yang memuaskan kenapa harus sudah berada di rumah sebelum pukul tujuh malam. Para guru pun sepertinya masih keberatan untuk menjelaskan ke murid-murid. Kalaupun ada guru yang mencoba menjawab, alasannya karena di TV sedang marak penculikan anak sehingga Pak Kades ingin agar anak-anak berhati-hati.
“Menurut kalian, apakah Awan mengada-ada soal Delman Merah Jambu itu?” Alva bertanya pada Randu dan Ilham dalam perjalanan pulang sekolah. Meski jarak rumah mereka tidak berdekatan tapi Alva sering pulang sekolah bersama-sama dengan Randu dan Ilham. Di sekolah pun mereka suka bermain bersama-sama.   
“Hmm, sepertinya enggak. Ayahnya Awan kan pengurus desa. Mungkin soal Delman Merah Jambu itu memang benar,” jelas Randu.
“Tapi, apa hubungannya Delman Merah Jambu dengan peraturan Pak Kades?” tanya Alva lagi.
Randu menggeleng sementara Ilham hanya diam saja.   
“Hmm, Ilham, apa Ayahmu pernah berkata sesuatu soal Delman Merah Jambu?” Alva bertanya pada Ilham.
Ilham menggeleng. “Bapak enggak pernah bercerita apapun soal itu di rumah” katanya pelan.
Melihat sikap Ilham yang kurang bersemangat membahasnya, Alva tidak bertanya lebih lanjut. Ia khawatir, Ilham akan tersinggung. Sebenarnya, Ilham juga merasa tidak enak hati karena bapaknya membuat pengumuman aneh seperti itu. Apalagi peraturan itu jadi pembicaraan hangat di sekolahnya. Bahkan mungkin, di seluruh desa!
Alva dan Randu saling pandang namun tak berkata apa-apa. Sepanjang perjalanan pulang, mereka sibuk menerka apa kaitan Delman Merah Jambu dengan peraturan baru dari Pak Kades.  




1 komentar: