Selasa, 13 Mei 2014

Berdakwah dengan Indah Lewat Jilbab

Alhamdulillah. Jika Allah Swt mengizinkan, beberapa bulan lagi pernikahan saya dan suami akan berusia 13 tahun. Itu artinya, hampir 13 tahun pula saya berjilbab. Dulu, selepas lulus SMP,  saya pernah mengikuti pesantren kilat dan berniat ingin terus berjilbab. Sayang, karena sesuatu hal, niat itu belum bisa dilakukan.

Beberapa bulan sebelum pernikahan, Alhamdulillah, niat itu muncul kembali. Tentu akan menjadi momen yang sangat indah, ketika kami menikah, saya sudah berjilbab. Dan kali ini, niat itu benar-benar bisa dilaksanakan hingga sekarang dan insyaa Allah sampai saya kembali pada-Nya.

Pertama berjilbab,  jilbab saya masih imut. Meski tidak memperlihatkan leher dan rambut, tapi ujung kanan dan kirinya sering saya ikat ke belakang. Saya juga masih mengenakan celana dengan baju yang tidak terlalu panjang.

Saya bersyukur suami saya bukanlah suami yang senang memaksa seseorang, apalagi istrinya, melakukan sesuatu yang belum siap dilakukan. Dia paham bagaimana saya dulu berpakaian; jeans dan T-shirt atau kemeja. Pun selepas lulus kuliah dan bekerja sebagai wartawan dan penyiar, pakaian kebesaran itu paling sering saya pakai. Saya hanya memakai pakaian rapi atau rok, ketika harus mewawancarai orang penting. Bukan dia tidak menasehati saya. Sebagai suami, imam, yang bertanggungjawab terhadap apa yang saya lakukan, dan memiliki pemahaman yang baik bagaimana seorang perempuan harus berjilbab, dia memiliki hak untuk memaksa saya memakai rok, jilbab lebar, tapi ia tidak memaksa saya melakukan itu.  Dia hanya berpesan, pelan-pelan saya harus bisa mengubah cara saya berjilbab.

Meski keinginan berjilbab datang dari saya sendiri, tapi saya merasa, mengubahnya dengan cara drastis mungkin akan membuat saya tidak percaya diri dan berat (semoga Allah Swt mengampuni saya). Tentu saya mencintai Allah Swt dengan segala yang Dia perintahkan dan berusaha berhijab dengan sebaik-baiknya, tapi izinkan saya melakukan itu semua karena keyakinan dan kesiapan kenapa saya harus begini dan begitu.

Mungkin pernyataan saya tersebut akan mengundang beda pendapat. Bahkan mungkin kecaman. Tidak apa-apa. Saya siap menerimanya J.

Syukur saya berikutnya, ketika di usia dua tahun pernikahan, kami tinggal di rumah sendiri dan bertetangga dengan para ibu yang berjilbab lebar dan mengenakan gamis. Dan mereka, tidak pernah mengucilkan atau memandang sebelah mata. Mereka tetap hangat menerima kekurangan saya. Tidak ada sindiran, tatapan mata sinis, atau kata-kata yang menyinggung. Di antara mereka bahkan guru Al Qur’an tapi ketika berdiskusi agama, mereka tetap terbuka dan tidak menganggap diri mereka paling tahu.
Salah seorang dari mereka mengatakan, “kecintaan seseorang pada Allah Swt tidak dapat dilihat hanya dari lebar atau tidaknya jilbab yang ia pakai.” 

Alhamdulillah, kalau dulu saya masih melilit jilbab, pakai atasan masih sepaha, sekarang sudah lebih panjang. Sesekali sudah memakai rok dan gamis. Semoga kedepannya akan jauh lebih baik. Aamiin.

Tulisan saya ini tentu bukan untuk dijadikan pembenaran bahwa saat pertama kali berjilbab, boleh seadanya. Adalah sesuatu yang hebat jika seseorang baru berjilbab dan sudah bisa mengenakan jilbab yang benar-benar menutup aurat. Saya sangat salut. 

Namun, sebaiknya, kita dapat lebih bijak dalam menyikapi seseorang yang baru berjilbab namun belum dapat sempurna. Mungkin saja ia dulu senang memakai rok pendek sehingga memakai jilbab, meski masih seadanya, merupakan suatu kemajuan dalam kehidupannya.

Ketika kita melihat ada seseorang berjilbab dan masih mengenakan ‘seadanya’, jika kita mengenalnya dengan baik, tentu tak ada salahnya untuk memberi tahu dengan santun. Jika tidak kenal, semoga kita berbesar hati untuk mendoakan agar ia dapat berhijab yang syar'i. 


Semoga kita bisa saling mendoakan, saling menasehati dengan cara yang indah seperti yang sudah dicontohkan Baginda Rasulullah Muhammad Saw. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar